KASUS Kasus Mangkrak Denny Indrayana: Ironi Jejak Sang ‘Ksatria’ Anti-Korupsi

- Minggu, 25 Mei 2025 | 15:50 WIB
KASUS Kasus Mangkrak Denny Indrayana: Ironi Jejak Sang ‘Ksatria’ Anti-Korupsi


KASUS Kasus Mangkrak Denny Indrayana: Ironi Jejak Sang ‘Ksatria’ Anti-Korupsi


Sepuluh tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menumbuhkan pohon jati tinggi menjulang, atau mungkin membangun candi sebesar Borobudur. Tapi di negeri konoha ini, sepuluh tahun kadang tak cukup untuk menyelesaikan sebuah kasus dugaan korupsi, apalagi menyeret sang terduga ke balik jeruji besi.


Kasus hukum yang menimpa Denny Indrayana kembali menjadi sorotan publik. Sosok yang dulunya dielu-elukan sebagai pendekar antikorupsi, ternyata masih tersangkut dalam kasus dugaan korupsi. Kasus ini mangkrak seperti pembangunan Ibu Kota Negara baru.


Denny Indrayana banyak dikenal publik sebagai pakar hukum tata negara, aktivis antikorupsi, pengacara berizin praktik di Indonesia dan Australia serta pernah menjadi Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2011-2014). 


Jabatan yang mentereng bahkan sempat menjadi Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan KKN (2008-2011).


Denny menyelesaikan studi sarjana hukumnya di UGM, kemudian melanjutkan program master di Universitas Minnesotta, AS dan program doktor di Universitas Melbourne, Australia. 


Sejak 2015, Denny mendirikan dan menjadi Senior Partner pada firma hukum Indrayana Centre for Government Constitution and Society yang disingkat Integrity. 


Denny juga menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (2010-2018), serta profesor tamu di Melbourne University Law School, Australia (2016-2019). 


Dia juga merupakan salah satu pendiri Indonesian Court Monitoring dan Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM.


Pada 2022, pria kelahiran Kotabaru, Kalimantan Selatan pada 1972 itu mendapatkan izin praktik pengacara di Melbourne, Australia, dan membuka kantor cabang di kota tersebut.


Dengan demikian, Denny Indrayana tercatat menjadi satu-satunya lawyer yang mempunyai izin advokat di dua negara sekaligus yaitu Indonesia dan Australia.


Dari menara gading akademisi, ia tak henti-hentinya menyuarakan pentingnya pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa alias extraordinary crime. Retorikanya tajam, analisisnya mendalam, dan setiap pernyataannya selalu mengundang decak kagum.


Sikapnya tegas dalam mendesak penegakan hukum terhadap para gembong koruptor. Tak jarang ia mengkritik keras lembaga penegak hukum yang dianggap lembek dalam menangani kasus-kasus kakap. 


Ia adalah "pemegang obor" keadilan yang selalu siap menerangi kegelapan praktik haram di negeri ini. Pernyataannya tentang ‘hukuman mati bagi koruptor’ atau ‘pemiskinan koruptor’ seolah menjadi mantra wajib yang diucapkan di setiap forum. 


Terjerat  Payment Gateway


Tapi, waktu berkata lain. Denny kemudian masuk kategori yang sama dengan koruptor yang dulu dia kecam. 


Kasusnya bermula saat Denny menjabat Wakil Menteri Hukum dan HAM (2011–2014). Ia meluncurkan sistem payment gateway untuk pembayaran paspor di Kemenkumham. 


Ia diduga menginstruksikan pemilihan dua vendor, PT Nusa Inti Artha (Doku) dan PT Finnet Indonesia, tanpa melalui prosedur yang semestinya.


Pada 2015, Denny ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Kasus ini disinyalir merugikan negara sebesar Rp32,09 miliar. 


Meskipun telah berstatus tersangka sejak 2015, hingga kini Denny belum ditahan, dan proses hukum terhadapnya belum menunjukkan perkembangan signifikan. 


Hal ini menimbulkan kritik dari berbagai pihak yang menilai adanya ketidakseriusan dalam penanganan kasus ini.


Halaman:

Komentar

Terpopuler