POLHUKAM.ID - Peneliti senior LSI Denny JA, Adjie Alfaraby, mengungkapkan alasan mengapa kepuasan publik terhadap Presiden RI Prabowo Subianto tinggi, padahal di saat yang sama, rakyat sedang mengeluhkan lapangan kerja dan harga sembako yang mahal.
Adjie menyampaikan, hal pertama yang LSI Denny JA temukan adalah karena faktor personal branding alias penjenamaan pribadi Prabowo yang masih kuat.
Hal tersebut disampaikan Adjie dalam jumpa pers virtual LSI Denny JA, Rabu (4/6/2025).
"Alasan mengapa publik cemas atau tidak puas dengan lapangan kerja dan harga sembako mahal, tetapi kenapa kepuasan terhadap Prabowo masih tinggi (81,2 persen)? Hal yang pertama yang kami temukan adalah karena aspek personal branding Prabowo masih kuat," ujar Adjie.
Adjie menjelaskan, meski sudah memasuki bulan ke-7 pasca-pemerintahan baru berkuasa, citra pribadi Prabowo masih kuat.
Dia turut mengungkit tingkat pengenalan Prabowo di kalangan rakyat Indonesia yang mencapai 98 persen.
Selain itu, tingkat kesukaan publik terhadap Prabowo juga tinggi sehingga bisa menutupi kekurangan dari kebijakan Prabowo.
"Ini terbukti dalam temuan survei kami, pengenalannya ya, pengenalannya sudah pasti sangat maksimal, di atas 90 persen, 98,0 persen, namun kesukaannya di angka 94,4 persen. Ini kesukaan yang cukup tinggi, saya pikir tidak banyak berubah, bahkan naik satu dua poin dibanding pilpres kemarin, kesukaan terhadap Prabowo," jelasnya.
"Jadi kesukaan ini penting. Faktor kesukaan itu bisa kemudian menjadi benteng yang kokoh ketika ada kekurangan-kekurangan dalam hal kebijakan. Dari teori komunikasi politik maupun teori perilaku pemilih, kita tahu banyak sekali menjelaskan itu. Faktor personal bisa menutupi kekurangan kebijakan," sambung Adjie.
Meski demikian, Adjie meyakini faktor pengenalan dan kesukaan ini tidak akan berlangsung lama.
Yang pasti, sejauh ini personal branding Prabowo masih berpengaruh untuk membuat persepsi publik secara umum masih positif.
Faktor kedua, Adjie memaparkan, masih ada efek bulan madu politik atau political honeymoon.
Adjie mengatakan, bulan madu politik biasanya berlangsung lebih kurang 6-12 bulan.
Pemerintahan saat ini masih dalam kurun waktu bulan madu politik tersebut.
Dengan begitu, ketika masa bulan madu, secara psikologi politik, publik masih memberikan toleransi terhadap apa yang belum diselesaikan oleh pemerintahan baru.
Sebab, menurut Adjie, publik merasakan ada tanda-tanda iktikad baik dari pemerintah untuk bekerja lebih keras.
"Jadi ada tanda-tanda baik, ada iktikad baik dari pemerintah. Walaupun ini belum berjalan, namun mereka percaya bahwa akan dilaksanakan atau akan direalisasikan janji-janji politik pemerintahan tersebut. Jadi masa bulan madu ini memang masih masa-masa toleransi," jelasnya.
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur