Namun, kata Huda, selevel menteri saja dilarang, apalagi dengan wakil menteri.
Rangkap jabatan wakil menteri berpotensi menimbulkan konflik kepentingan yang melibatkan regulator dan operator.
Kementerian atau lembaga sebagai regulator harusnya berada di luar badan usaha negara yang menjadi operator demi menjaga independensi.
Bisa dibayangkan, Sudaryono selaku wakil menteri pertanian adalah regulator tapi secara bersamaan ia juga komisaris utama PT Pupuk Indonesia yang perannya adalah operator.
"Tidak kah lucu nanti Kementerian Pertanian harus memanggil komisaris utama PT Pupuk Indonesia--yang notabene adalah wakil menteri pertanian. Bisa apa pejabat eselon satu sampai empat menghadapi hal itu?" tutur Huda.
Rangkap jabatan, lanjut Huda, akan mengurangi integritas para pejabat publik dalam mengambil keputusan dan kebijakan.
Pengambilan keputusan berpotensi tidak lagi didasari demi kepentingan publik, melainkan kepentingan perusahaan.
Di satu sisi, fenomena wakil menteri rangkap jabatan juga tidak menunjukkan sensitivitas terhadap masyarakat.
Di tengah sulitnya lowongan kerja dan tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), para pejabat tinggi justru memamerkan bagi-bagi kue kekuasaan.
Terlebih mereka yang ditunjuk seperti Yovie yang tidak memiliki pengalaman atau latar belakang dengan posisi komisaris yang diberikan kepadanya.
Secara umum, wakil menteri atau staf khusus Presiden yang mendapatkan jabatan komisaris di BUMN hampir didominasi bagian tim pemenangan Prabowo-Gibran, dan kader pada partai pendukung di Pemilu 2024 lalu.
Sebut saja Giring yang merupakan polisti PSI, Fahri Hamzah politisi Partai Gelora, dan Immanuel Ebenezer yang merupakan kelompok relawan pendukung Prabowo-Gibran.
Sependapat dengan Huda, Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Bagus Pradana menilai ada potensi konflik kepentingan dalam penunjukan komisaris BUMN dari kalangan politisi.
Dalam tulisannya yang dimuat di laman resmi TII pada Juni 2024 lalu, Bagus memperkenalkan istilah revolving door atau pintu putar untuk menggambarkan fenomena di mana individu berpindah dari satu posisi di politik menuju ke arena bisnis atau sebaliknya.
Menurutnya jika peralihan politisi memasuki badan usaha negara tidak diatur bakal menimbulkan konflik kepentingan.
Dia menjelaskan, politisi yang diangkat jadi komisaris BUMN besar kemungkinan akan merasa berhutang budi kepada pihak yang memberikannya jabatan.
"Besar pula risiko mereka yang diangkat sebagai petinggi di BUMN ini cenderung mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya ketimbang kepentingan perusahaan," tulis Bagus.
Pada titik tersebut, dijelaskannya, praktik klientalisme politik yang sudah diangap lumrah sebagaian kalangan akan turut memperbesar peluang terjadinya tindak pidana korupsi di BUMN.
Bagus menegaskan, penunjukan komisiaris atau direksi BUMN seharusnya berdasarkan kebutuhan.
Karenanya, kandidat yang maju adalah sosok-sosok yang memiliki kualifikasi sesuai kebutuhan.
"Apabila pengangkatan lebih didasarkan pada pertimbangan politik atau terindikasi adanya balas budi politik, besar kemungkinan bahwa orang yang diangkat tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk posisi tersebut. Kondisi ini juga dapat mengganggu kinerja BUMN," tuturnya.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Puan Maharani Bongkar Masalah Utang Whoosh: DPR Akan Usut Tuntas!
Prof Henri Balik Badan Bongkar Rekayasa Gibran Cawapres: Saya Kecewa dengan Jokowi!
Misteri Dewa Luhut di Balik Proyek Whoosh: Rahasia yang Baru Terungkap
Fakta Mengejutkan di Balik Proyek Whoosh: Dugaan Markup Rp 60 Triliun dan Potensi Kerugian Negara