POLHUKAM.ID - Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya merasa kasihan dengan Mantan Presiden RI Joko Widodo setelah 10 tahun berkuasa.
Menurut Yunarto, Jokowi tidak lagi diingat atau dikenang berkat legacy atau warisan kebijakan pemerintahannya.
Melainkan, Jokowi kini hanya dibahas oleh publik karena berbagai polemik kontroversial yang melingkupi dirinya setelah pensiun.
Hal ini disampaikan Yunarto Wijaya saat menjadi tamu dalam podcast GASPOL yang diunggah di kanal YouTube Kompas.com pada Sabtu (28/6/2025).
"Kasihan kalau Pak Jokowi terus-menerus masa pensiunnya akhirnya harus menghabiskan waktu seperti ini," kata Yunarto.
"Dan sebagai mantan -bukan pendukung saja, saya tuh bantu Jokowi- saya tetap sedih, seorang presiden yang apa pun ya, dia sudah bekerja keras juga, yang diingat Ingat bukan legacy-nya terkait infrastruktur, bukan tentang deregulasi, bukan tentang debirokratisasi," jelasnya.
"Tapi akhirnya tentang anaknya dan harus menghabiskan masa pensiunnya dengan berbicara mengenai cawe-cawe atau tidak, intervensi atau tidak, matahari kembar atau tidak, dan terakhir sepaket atau tidak mengomentari anaknya, termasuk bahkan seakan-akan harus mencari kerja menjadi ketua umum dari partai tertentu," tambah Yunarto.
Yunarto menilai, tidak lazim bagi seorang presiden yang sudah menjabat selama dua periode (2 x 5 tahun) tidak dikenang dengan peninggalannya.
"Buat saya ini tidak lazim buat seorang presiden yang harusnya diingatnya adalah legasinya yang 10 tahun luar biasanya Pak Jokowi," ujarnya.
Polemik Jokowi setelah Tak Lagi Jadi Presiden
1. Tudingan Ijazah Palsu
Ijazah S1 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) milik Jokowi dipertanyakan oleh publik.
Namun, Bareskrim Polri telah menyatakan ijazah Jokowi tidak palsu setelah melakukan uji laboratorium forensik,
Meski begitu, sejumlah pihak, seperti Roy Suryo, Dokter Tifa (Tifauziyah Tyassuma), Rismon Hasiholan Sianipar terus menuding bahwa ijazah kuliah Jokowi palsu.
Kemudian, Jokowi tidak tinggal diam, ia melaporkan Roy Suryo cs tersebut ke Polda Metro Jaya atas tuduhan pencemaran nama baik, fitnah, penghasutan, dan penyebaran berita palsu melalui media elektronik.
Pelaporan ini masih terus berlanjut.
Adapun Jokowi hingga kini masih belum menunjukkan ijazah miliknya ke hadapan publik, dan menegaskan baru akan melakukannya jika diminta di persidangan.
2. Desakan Pemakzulan Gibran Rakabuming Raka
Anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, didesak untuk dimakzulkan dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI.
Desakan datang dari Forum Purnawirawan TNI.
Forum tersebut pun telah melayangkan surat berisi desakan agar proses pemakzulan atau impeachment Gibran dari kursi Wakil Presiden RI dipercepat.
Forum tersebut bahkan sudah menyurati Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Adapun permintaan pemrosesan pemakzulan Gibran tersebut tertera dalam surat tertanggal 26 Mei 2025, yang ditujukan kepada Ketua MPR Ahmad Muzani dan Ketua DPR Puan Maharani.
Akan tetapi, surat tersebut tidak dibacakan di Rapat Paripurna Pembukaan Masa Sidang IV Tahun Sidang 2024-2025 yang digelar DPR RI pada Selasa (24/6/2025).
Sementara, Jokowi sudah menanggapi pemakzulan tersebut.
Dalam wawancara dengan awak media di kediamannya di Solo, Jawa Tengah pada Jumat (6/6/2025), Jokowi menanggapi usulan pemakzulan anak sulungnya, Gibran, dari jabatan Wakil Presiden RI.
Jokowi pun menyinggung bahwa sistem pemilihan kepala negara di Indonesia dilakukan dalam satu paket, presiden beserta wakil presiden.
"Pemilihan presiden kemarin kan satu paket, bukan sendiri-sendiri. Kayak di Filipina itu sendiri-sendiri. Di kita ini kan satu paket," jelas Jokowi, dikutip dari tayangan video yang diunggah di kanal YouTube Official iNews, Jumat (6/6/2025).
"Memang mekanismenya seperti itu [menerima presiden dan wakil presiden, red]," tambahnya.
Kemudian, Jokowi menilai, adanya surat usulan pemakzulan Gibran merupakan bagian dari dinamika demokrasi di Indonesia.
Ia pun mengaku tidak merasa sakit hati.
"Bahwa ada yang menyurati seperti itu. Iya, itu dinamika demokrasi kita. Biasa saja. Dinamika demokrasi kan ya seperti itu," kata Jokowi.
Selanjutnya, Jokowi menjelaskan bahwa upaya pemakzulan harus dilakukan sesuai sistem ketatanegaraan yang berlaku.
"Negara ini kan negara besar yang memiliki sistem ketatanegaraan. Ya, diikuti saja proses sesuai sistem ketatanegaraan kita," ujar Jokowi.
"Jadi, sekali lagi sistem ketatanegaraan. Kita memiliki mekanisme yang harus diikuti bahwa pemakzulan itu harus presiden atau wakil presiden, misalnya korupsi atau melakukan perbuatan tercela atau melakukan pelanggaran berat, itu baru [dimakzulkan, red] ya," paparnya
Sumber: Tribunnews
Artikel Terkait
Blak-Blakan Andi Widjajanto Ngaku Pernah Pegang Ijazah Jokowi, Lantas Asli atau Palsu? Ini Faktanya!
Di Tengah Pidato, Prabowo Subianto Kaget Melihat Keberadaan Dedengkot 9 Naga Tomy Winata, Ini Videonya!
Sekjen MPR Kaji Surat Usulan Pemakzulan Gibran, Pakar Hukum Sebut Bisa Jadi Misteri Keajaiban Dunia
Dokter Richard Lee Duga Jokowi Alami Alergi Obat hingga Autoimun, Sarankan Segera Cek Lab