INFO! Gibran Bisa Dimakzulkan Jika Ekonomi Anjlok, Pakar Bongkar Sumbatan Dari Politisi Pemilik Tambang

- Sabtu, 12 Juli 2025 | 13:30 WIB
INFO! Gibran Bisa Dimakzulkan Jika Ekonomi Anjlok, Pakar Bongkar Sumbatan Dari Politisi Pemilik Tambang




POLHUKAM.ID - Isu pemakzulan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka yang terus bergulir di ruang publik ternyata bukanlah sekadar manuver politik kosong.


Seorang pakar justru menyebutnya sebagai langkah logis, namun terbentur oleh tembok tebal kepentingan ekonomi para politisi di parlemen.


Analisis tajam ini diungkap oleh Prof. Sulfikar Amir, Professor of Science dari Nanyang Technological University, Singapura dalam podcast Forum Keadilan TV yang ditayangkan di YouTube.


Ia membedah mengapa tuntutan pemakzulan yang dianggap rasional oleh sebagian kelompok masyarakat sipil seolah tak bergema kuat di Senayan.


Menurutnya, desakan untuk melengserkan Gibran merupakan bentuk mitigasi atau pencegahan terhadap potensi bencana kepemimpinan di masa depan. 


Ini adalah respons wajar dari warga negara yang khawatir.


"Tindakan kelompok masyarakat yang melihat potensi bencana di masa depan dan mencoba mengambil tindakan mitigasi (seperti tuntutan pemakzulan) adalah tindakan logis," tegas Prof. Sulfikar.


Tembok Kepentingan Tambang dan Sawit di Parlemen


Lantas, mengapa respons dari para wakil rakyat yang seharusnya menyuarakan aspirasi ini justru adem ayem? 


Prof. Sulfikar tanpa tedeng aling-aling menunjuk hidung para elite politik yang kepentingannya terganggu jika isu ini diangkat secara serius.


Ia menyebut adanya "relasi kuasa" dan kepentingan bisnis raksasa yang menjadi sumbatan utama.


"Respon wakil rakyat yang berbeda-beda terkait isu pemakzulan terkait dengan relasi kuasa dan kepentingan ekonomi (tambang, sawit, dll.) yang mereka pegang," ujarnya.


Analisis ini menyiratkan bahwa kalkulasi untung-rugi materiil, seperti konsesi tambang atau perkebunan kelapa sawit, lebih mendominasi cara berpikir para politisi ketimbang memikirkan risiko jangka panjang bagi negara.


"Kemampuan seseorang berpikir tentang masa depan sangat tergantung pada kepentingan material yang ada di depannya," tambahnya, menyiratkan bahwa idealisme politik seringkali kalah oleh pragmatisme ekonomi pribadi atau kelompok.


'Bom Waktu' Ekonomi Bisa Jadi Pemicu Utama


Meskipun saat ini terhalang oleh kepentingan elite, Prof. Sulfikar meyakini isu pemakzulan ini bisa meledak menjadi gerakan masif.


Namun, ada satu syarat utama yang bisa menjadi pemicunya: krisis ekonomi yang dirasakan langsung oleh perut rakyat.


Selama kondisi ekonomi masih stabil, gerakan ini akan sulit membesar. Namun, jika situasi memburuk, kemarahan publik bisa menjadi bahan bakar utama.


"Gerakan masyarakat sipil yang kuat untuk menuntut pemakzulan membutuhkan faktor pemicu yang lebih kuat, seperti kondisi sosial ekonomi yang menurun drastis," jelasnya.


Ini berarti, nasib politik Gibran bisa jadi sangat bergantung pada kemampuannya dan pemerintahan Prabowo dalam menjaga stabilitas ekonomi. 


Jika gagal, 'bom waktu' ketidakpuasan publik bisa meledak kapan saja.


Sementara itu, dari sisi internal koalisi, Presiden terpilih Prabowo Subianto dinilai masih mengambil sikap aman. Menurut Prof. Sulfikar, Prabowo belum melihat adanya urgensi atau kepentingan untuk ikut campur dalam wacana pelengseran wakilnya itu.


"Prabowo dinilai belum memiliki kepentingan kuat untuk mendukung pemakzulan Gibran dan cenderung membiarkannya," ungkapnya.


Sikap Prabowo ini menunjukkan dinamika internal kekuasaan yang masih cair, di mana isu pemakzulan Gibran dibiarkan bergulir sebagai bagian dari lanskap politik yang kompleks.



Tiga Alasan Yang Bisa Jadi 'Dasar' Pemakzulan Gibran Rakabuming, Ini Kata Pakar Hukum Tata Negara!




POLHUKAM.ID - Wacana pemakzulan Wakil Presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka, kembali mencuat ke permukaan setelah sejumlah purnawirawan TNI menyuarakan desakan untuk melengserkan putra sulung Presiden Joko Widodo itu. 


Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, turut memberikan penjelasan terkait dasar hukum dan syarat yang harus dipenuhi dalam proses pemakzulan seorang wakil presiden, termasuk Gibran Rakabuming Raka.


Menurut Zainal, pemakzulan seorang wakil presiden bisa dilakukan mengacu pada ketentuan Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.


Namun, ia menegaskan bahwa tidak sembarang proses pemberhentian dapat dilakukan, melainkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah diatur secara konstitusional.


Tiga Alasan yang Bisa Menjadi Dasar Pemakzulan Gibran Rakabuming Raka


Zainal menyebutkan ada tiga hal utama yang dapat menjadi alasan sah untuk memberhentikan presiden atau wakil presiden di tengah masa jabatan, atau dalam hal ini adalah Gibran Rakabuming Raka, yaitu:


1. Persoalan Administratif


Pemberhentian dapat dilakukan jika presiden atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat administratif sebagai pejabat negara.


Misalnya, ditemukan ketidaksesuaian dalam dokumen resmi seperti ijazah palsu atau tidak terpenuhinya persyaratan lain sebagaimana diatur dalam konstitusi.


2. Pelanggaran Hukum atau Pidana


Alasan kedua adalah jika presiden atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tindak pidana, seperti suap, korupsi, atau tindak kriminal lain yang merusak integritas jabatannya.


3. Melakukan Perbuatan Tercela


Faktor terakhir adalah jika presiden atau wakil presiden terbukti melakukan perbuatan tercela atau tindakan yang dianggap tidak bermoral dan mencoreng martabat jabatannya.


Isu yang Menjerat Gibran Rakabuming Raka


Merujuk pada ketiga dasar tersebut, Zainal menyebut ada beberapa isu yang selama ini dikaitkan dengan Gibran dan berpotensi menjadi bahan pertimbangan jika proses pemakzulan benar-benar diusulkan dan terbukti kebenarannya, di antaranya:


1. Isu Ijazah Palsu


Gibran sempat diterpa isu mengenai dugaan ijazah palsu, meski hingga kini belum ada bukti resmi yang menguatkan tudingan tersebut.


2. Kasus Akun Kaskus "Fufu Fafa"


Akun Kaskus dengan nama "Fufu Fafa" sempat ramai diperbincangkan karena diduga terkait dengan Gibran dan dianggap memuat konten tidak bermoral.


Namun, keterkaitan Gibran dengan akun tersebut juga belum terbukti secara hukum.


3. Laporan ke KPK oleh Akademisi


Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubaidillah Badrun, pernah melaporkan Gibran ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan gratifikasi atau penyimpangan lainnya.


Laporan ini menjadi catatan tersendiri, meskipun belum ada hasil resmi atau putusan hukum yang menetapkan Gibran bersalah.


Zainal menekankan, bahwa seluruh isu tersebut baru dapat dijadikan dasar hukum untuk pemakzulan jika telah melalui proses pembuktian yang sah di hadapan hukum dan lembaga terkait.


Proses Pemakzulan Sesuai Konstitusi


Lebih lanjut, Zainal menjelaskan, bahwa mekanisme pemakzulan tidak bisa dilakukan secara serampangan.


Prosesnya diawali dari kesepakatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang kemudian dilanjutkan dengan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).


Apabila MK memutuskan, bahwa syarat-syarat pemakzulan terpenuhi, barulah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dapat memutuskan pemberhentian wakil presiden secara resmi.


Zainal sendiri secara pribadi mengakui, bahwa proses Pilpres 2024 yang mengantarkan Gibran ke kursi wakil presiden memang penuh kontroversi dan menurutnya cacat secara konstitusi.


Namun, ia menolak jika pemakzulan dilakukan dengan cara yang juga melanggar konstitusi.


Baginya, seluruh tahapan harus tetap mengikuti koridor hukum yang berlaku, tanpa rekayasa atau pengkhianatan terhadap UUD 1945.


Posisi Gibran Saat Ini


Meski isu pemakzulan terus bergulir, Gibran Rakabuming Raka bersama Prabowo Subianto telah resmi terpilih sebagai presiden dan wakil presiden periode 2024-2029 dengan dukungan lebih dari 58 persen suara rakyat Indonesia.


Keputusan Mahkamah Konstitusi juga telah memenangkan pasangan ini dari gugatan yang dilayangkan pihak lawan politik.


Namun, polemik seputar legitimasi Gibran Rakabuming masih menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, akademisi, hingga tokoh politik, khususnya terkait dugaan pelanggaran etika dan konstitusi selama proses pencalonannya.


Sumber: Suara

Komentar