Lebih jauh, Yunarto Wijaya menyoroti sebuah realitas politik yang seringkali tak terlihat oleh publik luas.
Ia menyebut pergeseran dukungan dari para elit politik terjadi jauh lebih cepat dan pragmatis dibandingkan dengan pemilih di tingkat akar rumput.
Begitu seorang presiden tak lagi memegang kendali penuh atas kekuasaan eksekutif, daya tariknya pun seketika memudar.
"Ini juga mengindikasikan bahwa elit politik lebih kejam daripada pemilih, di mana magnet politik cepat berpindah dari Jokowi ke Prabowo setelah Jokowi tidak lagi berkuasa," tegas Yunarto.
Ungkapan "lebih kejam daripada pemilih" secara gamblang melukiskan pragmatisme tingkat tinggi di kalangan elit.
Loyalitas dan dukungan politik, dalam konteks ini, bukanlah sesuatu yang abadi, melainkan cair dan selalu mengarah pada pusat gravitasi kekuasaan yang baru.
Hal ini terlihat dari bagaimana partai-partai politik, termasuk yang sebelumnya sangat lekat dengan citra Jokowi, kini "sudah sibuk dengan kepentingannya sendiri dan berlomba mengambil hati Prabowo."
Meski Jokowi diyakini masih memiliki pengaruh politik, misalnya melalui kendaraan politik seperti PSI yang coba ia bangun sebagai "benteng", pusat pengambilan keputusan dan negosiasi strategis kini tak lagi berada di tangannya.
Prabowo Subianto telah menjelma menjadi matahari baru dalam konstelasi politik Indonesia, menarik semua planet di sekitarnya untuk mengorbit kepadanya.
Bagaimana Prabowo mengelola "magnet" barunya ini akan menentukan stabilitas dan wajah pemerintahannya lima tahun ke depan.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Puan Maharani Bongkar Masalah Utang Whoosh: DPR Akan Usut Tuntas!
Prof Henri Balik Badan Bongkar Rekayasa Gibran Cawapres: Saya Kecewa dengan Jokowi!
Misteri Dewa Luhut di Balik Proyek Whoosh: Rahasia yang Baru Terungkap
Fakta Mengejutkan di Balik Proyek Whoosh: Dugaan Markup Rp 60 Triliun dan Potensi Kerugian Negara