Meski demikian, Efriza tetap menyebut kebijakan Prabowo memberikan 'pengampunan' itu sebagai langkah berani.
Sebab, langkah koreksi itu pasti memiliki konsekuensi.
"Dengan bersikap memperbaiki, Prabowo bisa menampilkan dirinya bukan hanya sebagai penerus Jokowi, melainkan sebagai pemimpin yang berani melakukan koreksi terhadap ketidakseimbangan kekuasaan, penegakan hukum yang dinilai politis, atau ketimpangan dalam representasi politik," tuturnya.
Oleh karena itu, Efriza menegaskan agar narasi “Prabowo sebagai pahlawan” tidak secara otomatis dianggap cerminan fakta objektif.
Alasannya, ada persepsi yang sedang dibangun dari pemberian amnesti dan abolisi itu.
"Perlu adanya kehati-hatian agar langkah-langkah korektif ini tidak sekadar menjadi pencitraan belaka," tuturnya.
Jika langkah itu tidak dibarengi keberpihakan nyata terhadap prinsip keadilan, demokrasi, dan kepedulian terhadap pemberantasan korupsi, kata Efriza, persepsi yang hendak dibangun bahwa “Prabowo pahlawan” justru memunculkan kesantentang kepentingan politik lebih kuat dibandingkan penegakan hukum.
Selain itu, Prabowo dengan kebijakan amnesti dan abolusi itu juga mesti siap menerima konsekunsi soal relasinya dengan Jokowi.
"Konsekuensi ke depan juga mesti siap diterimanya, karena hubungannya dengan Jokowi bisa retak, sebab di balik narasi pahlawan artinya ada yang dianggap “penjahat” dalam persoalan politik yang menjerat Hasto dan Tom Lembong tersebut," pungkas Efriza.
Sumber: JPNN
Artikel Terkait
Puan Maharani Bongkar Masalah Utang Whoosh: DPR Akan Usut Tuntas!
Prof Henri Balik Badan Bongkar Rekayasa Gibran Cawapres: Saya Kecewa dengan Jokowi!
Misteri Dewa Luhut di Balik Proyek Whoosh: Rahasia yang Baru Terungkap
Fakta Mengejutkan di Balik Proyek Whoosh: Dugaan Markup Rp 60 Triliun dan Potensi Kerugian Negara