Jika sebelumnya publik mengkritik dengan nada kecewa, temuan "gudang senjata" ini mengubah amarah menjadi lelucon massal.
Media sosial dibanjiri oleh teori-teori kocak dari warganet.
"Pantesan benderanya hilang, ternyata desanya mau dipakai buat basis Gerakan Anak Mencari bendera," canda seorang pengguna di X.
Lelucon ini, meskipun terdengar konyol, adalah bentuk kritik paling pedas.
Publik sudah tidak lagi menganggap film ini secara serius. Kegagalan produksi telah mengubah sebuah karya yang (seharusnya) heroik menjadi bahan tertawaan nasional.
Bagi produser PT Perfiki Kreasindo dan Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, ini adalah pukulan telak yang mungkin sulit untuk dipulihkan.
Blunder ini bukan lagi soal selera atau kemampuan teknis, tetapi sudah masuk ke ranah kelalaian dan kompetensi dasar dalam memproduksi film, terutama film untuk keluarga.
Diamnya pihak produser di tengah badai kontroversi, ditambah dengan hilangnya website resmi mereka, kini terlihat semakin mencurigakan.
Publik menuntut jawaban, bukan hanya permintaan maaf, tetapi juga penjelasan logis di balik serangkaian kejanggalan yang membuat "Merah Putih One for All" menjadi salah satu kasus kegagalan film paling fenomenal bahkan sebelum resmi dirilis.
👇👇
Sampe speechless liat trailer. pic.twitter.com/wSYfFh5UXy
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Puan Maharani Bongkar Masalah Utang Whoosh: DPR Akan Usut Tuntas!
Prof Henri Balik Badan Bongkar Rekayasa Gibran Cawapres: Saya Kecewa dengan Jokowi!
Misteri Dewa Luhut di Balik Proyek Whoosh: Rahasia yang Baru Terungkap
Fakta Mengejutkan di Balik Proyek Whoosh: Dugaan Markup Rp 60 Triliun dan Potensi Kerugian Negara