POLHUKAM.ID - DEWAN Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (PAN) resmi menonaktifkan dua kadernya, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio dan Surya Gutama alias Uya Kuya, dari keanggotaan Fraksi PAN di DPR RI.
Keputusan itu berlaku mulai Senin, 1 September 2025. Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi menegaskan langkah ini demi menjaga disiplin, integritas, dan kehormatan wakil rakyat.
Pernyataan normatif ini terdengar tepat, apalagi disampaikan di tengah gelombang protes yang mengguncang negeri. Kepercayaan publik terhadap parlemen merosot tajam.
Namun, pertanyaannya: apakah sekadar menonaktifkan dua nama cukup untuk memulihkan martabat politik? Atau ini hanya kosmetik untuk meredam amarah publik?
Pertanyaan itu tidak boleh berhenti di PAN. Dua partai besar sudah bersikap.
PAN mengikuti jejak Partai NasDem yang lebih dulu menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach.
Tetapi publik bertanya lebih jauh: kapan koreksi yang sama dilakukan di lingkaran kekuasaan eksekutif?
Demokrasi bukan sekadar urusan partai politik. Ada kepercayaan publik yang harus dijaga oleh semua pilar kekuasaan, termasuk pemerintah.
Jika partai berani memecat kader bermasalah, mengapa Presiden Prabowo diam terhadap “geng Solo” yang masih bercokol di kabinet?
Mereka yang dulu menjadi simbol oligarki, pengendali proyek, hingga perpanjangan tangan kepentingan politik lama kini masih nyaman duduk di kursi empuk pemerintahan. Bahkan, mereka kian rajin bikin gaduh.
Gelombang protes yang memenuhi jalanan bukan datang tiba-tiba.
Ia lahir dari akumulasi kekecewaan: komentar pongah, gaya hidup mewah, hingga dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang mencederai rasa keadilan.
Ketika partai politik merespons dengan langkah tegas, publik menunggu konsistensi yang sama dari Presiden.
Jika koreksi hanya berhenti di legislatif, rakyat akan membaca ini sebagai drama seremonial.
Koreksi sejati menuntut keberanian moral.
“Keberanian adalah pangkal dari semua kebajikan,” kata Aristoteles dua ribu tahun lalu.
Bukan sekadar mengganti wajah, melainkan membersihkan praktik buruk yang merusak demokrasi.
Jika Prabowo ingin menegaskan bahwa pemerintahannya tidak dikendalikan warisan oligarki, ia harus berani mencopot para pemain lama yang menjadikan negara sebagai ladang rente.
Ini bukan soal balas dendam politik. Ini soal mandat. Publik memberi mandat kepada Prabowo untuk memimpin perubahan, bukan untuk melestarikan jaringan kepentingan lama.
Sebagaimana Jean-Jacques Rousseau mengingatkan, “Kedaulatan tidak bisa diwakilkan. Begitu ia diwakilkan, ia lenyap.”
Karena itu, jangan biarkan koreksi berhenti pada kosmetik. Bangun mekanisme akuntabilitas nyata, audit kinerja pejabat, cabut privilese yang tidak berdasar, dan tunjukkan bahwa kekuasaan tidak kebal hukum.
Kemarahan publik hari ini adalah alarm keras. Jika elite tuli mendengar, sejarah akan mencatat bahwa benteng demokrasi runtuh bukan karena serangan luar, melainkan karena kelalaian dari dalam. Partai politik sudah mengambil langkah awal.
Kini giliran Presiden Prabowo menunjukkan bahwa nyalinya bukan hanya untuk berpidato, tetapi untuk membersihkan lingkaran kekuasaan dari geng yang merusak kepercayaan rakyat.
Karena hanya dengan keberanian itu, kepercayaan yang patah bisa dipulihkan. Seperti yang diingatkan Mahatma Gandhi, “Kekuasaan tanpa moral adalah bencana yang menanti saatnya.”
Dan jangan lupakan pesan Imam al-Ghazali, “Kerusakan rakyat karena kerusakan penguasa; jika penguasa baik, rakyat ikut baik.”
Maka, bersihkan lingkaran Anda, Pak Presiden. Karena demokrasi tidak bisa bertahan dengan moral yang runtuh.
Prabowo Harus Berani Bersihkan Geng Solo: Gibran Dimakzulkan, Jokowi Diadili!
Presiden Prabowo Subianto harus berani membersihkan Geng Solo dari Kabinet Merah Putih.
“Semakin Prabowo tidak menunjukkan bahwa dia memegang kendali penuh atas pemerintahan, maka semakin berani dan ngelunjak Jokowi dan Geng Solo,” kata peneliti media dan Politik Buni Yani melalui keterangan tertulisnya yang dikutip Senin 23 Juni 2025.
Menurut Buni Yani, semakin Presiden Prabowo menggunakan “budaya tinggi” untuk menegur Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi dan kawanannya, maka semakin muka badak mereka.
“Geng Solo tidak bisa disindir dengan bahasa halus dan bersayap. Mereka harus disemprot dengan kata yang apa adanya,” kata Buni Yani.
Buni Yani menilai, tidak ada kemuliaan pada Jokowi dan Geng Solo.
“Prabowo harus mulai beradaptasi menggunakan cara dan budaya mereka untuk mengubah dan memotong pengaruh mereka,” kata Buni Yani.
“Tetapi ini hanya bisa terjadi bila Prabowo menunjukkan sikap yakin dan tidak ragu-ragu, bahwa Jokowi dan geng Solo adalah residu toxic yang akan mengganggu pemerintahannya,” sambungnya.
Buni Yani mengingatkan Prabowo agar jangan sampai kehilangan momentum.
Sekarang rakyat sedang mendukung semua langkahnya melenyapkan Gibran dan Jokowi yang sudah terlalu lama mempermalukan bangsa besar ini.
“Karenanya, pemakzulan Gibran harus dipercepat, pengadilan terhadap Jokowi — termasuk ijazah palsu — harus segera dilakukan, dan bersih-bersih Geng Solo menjadi kewajiban. Prabowo harus berani dan yakin, karena dia mendapatkan dukungan rakyat secara penuh,” pungkas Buni Yani.
Sementara itu, Pengamat politik Muslim Arbi mengatakan Prabowo harus bersikap tegas terhadap Geng Solo dan membersihkan sampai ke akar-akarnya.
Muslim pun mengapresiasi tindakan tegas Prabowo yang membatalkan kebijakan Menteri Dalam Negeri (Mendagari) Tito Karnavian yang memberikan empat pulau milik Aceh ke Sumatera Utara (Sumut).
"Dengan merevisi Keputusan Mendagri atas 4 pulau yang dikeluarkan Tito oleh Prabowo yang mana pulau itu diserahkan oleh Tito ke Bobby sarat KKN. Pembatalan itu dipandang publik, Presiden Prabowo mulai tunjukkan ketegasan dan tanpa kompromi," katanya.
Saat memberikan kometar yang dikutip pada Minggu 22 Juni 2025, Muslim menuturkan publik memandang Prabowo tidak lagi sungkan atau ewuh-pakewuh terhadap penguasa Solo.
Ketua Umum Partai Gerindra itu dinilai mulai percaya diri untuk membersihkan kekuatan Jokowi satu persatu.
"Dukungan ke Prabowo untuk membersihkan Geng Solo sampai ke akar-akarnya yang membuat beban dan blunder terhadap negara selama ini terus mengalir. Publik pasti mengapresiasi, sikat terus tanpa kompromi demi untuk bangsa, negara dan menegakkan wibawa pemerintahannya Prabowo," ucap Direktur Gerakan Perubahan ini.
"Geng Solo" adalah sebutan bagi petinggi TNI dan Polri yang pernah bertugas di Surakarta atau Solo, Jawa Tengah dan mempunyai kedekatan dengan Joko Widodo alias Jokowi.
Pasalnya kebanyakan anggota Geng Solo bertugas saat Jokowi menjadi Wali Kota Surakarta
Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR), Hari Purwanto yang menilai kebijakan yang dibuat Geng Solo telah mengganggu pemerintahan Presiden Prabowo.
Salah satu yang terlihat adalah tindakan Mendagri Tito Karnavian yang memutuskan empat pulau yang semula milik Aceh menjadi milik Sumut, meskipun akhirnya keputusan itu dibatalkan Prabowo.
Saat memberikan kometar yang dikutip pada Minggu 22 Juni 2025, Hari menyebut Tito memang bertugas mengamankan Jokowi dan dinastinya.
"Tito memang harus berperan mengamankan Jokowi dan dinastinya. Mengganggu konsolidasi KMP salah satu tugasnya," katanya.
Terlebih saat ini wacana pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden semakin santer disuarakan. Wacana itu tentu sangat mengganggu Jokowi dan dinasti.
Namun Hari melihat upaya membersihkan pemerintahan dari Gang Solo masih belum terlihat.
Kebijakan yang dibuat saat ini cenderung berpihak pada kepentingan Jokowi dan dinastinya.
"Upaya bersih-bersih Geng Solo belum terlihat, tapi upaya Geng Solo menganggu KMP terlihat dengan kebijakan yang tidak sejalan dengan Prabowo. Malah cenderung terlihat kepentingan dan keberpihakannya kepada Jokowi dan dinasti," pungkas Hari.
Menteri-Menteri Titipan Jokowi Mulai 'Recoki' Pemerintahan Prabowo Subianto!
Oleh: S. Indro Tjahyono
Eksponen Gerakan Mahasiswa 77/78
Aktivis Jaringan Aktivis Lintas Angkatan (JALA)
Semula kita ragu ketika orang mengatakan ada “Matahari Kembar” dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Bahkan bertiup isu bahwa kekuasaan Prabowo sebagai presiden hanya berdurasi 2 (dua) tahun saja.
Isu “Matahari Kembar” itu bertiup terus, diiringi atraksi mantan presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tampak tidak berhenti mendongkrak popularitasnya dengan melakukan perjalanan keliling sembari bagi-bagi hadiah.
Bahkan ada pengerahan massa besar-besaran untuk “sowan” di kediamannya di Solo agar ia tetap dikenang.
Depopulerisasi
Menepis isu “Matahari Kembar” dan santernya kerenggangan hubungannya dengan Jokowi, Prabowo malahan show of force dengan meneriakkan yel “Hidup Jokowi” saat pidato di hadapannya.
Sementara rencana pertemuan Prabowo dan Megawati diulur-ulur terus yang mengindikasikan Prabowo masih rikuh dengan Jokowi.
Namun indikasi bahwa menteri-menteri titipan Jokowi lakukan depopulerisasi terhadap Prabowo mulai tercium.
Pertama ketika ada kebijakan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% yang menuai reaksi keras dan buru-buru kebijakan itu dicabut.
Sebaliknya Wapres Gibran Rakabuming meluncurkan program “Lapor Mas Wapres” untuk mempopulerkan dirinya, tapi akhirnya hilang begitu saja.
Selain itu upaya Wapres untuk bikin rapat dengan menteri di kantornya juga berhenti.
Prabowo Lakukan Intervensi
Polarisasi di kabinet juga mulai nampak dan vulgar, ketika pada Idul Fitri 2024 beberapa menteri sowan ke kediaman Jokowi di Solo.
Ada 8 (delapan) menteri termasuk Sri Mulyani dan Zulkifli Hasan yang lakukan “sungkeman politis”.
Kebijakan untuk ngotot lanjutkan IKN juga mewarnai tarik-menarik dari Dua Matahari itu, mulai dari tersunatnya anggaran serta percepatan pembangunan istana Wapres dan rencana kepindahan Gibran ke IKN.
Menurut ekonom Anthony Budiawan gangguan menteri-menteri titipan Jokowi itu telah memancing beberapa kali intervensi presiden langsung. Tujuannya tetap yakni depopulerisasi Prabowo.
TNI Menjadi Instrumen Intervensi
Intervensi presiden itu antara lain adalah menggunakan Kejaksaan Agung sebagai agen pemberantasan korupsi dan bukan KPK yang sudah menjadi instrumen sandera politik Jokowi.
Artikel Terkait
Mendesak Evaluasi! Menteri Hukum Supratman Kini Jadi Sorotan
Waspada! Utang Proyek Kereta Cepat Warisan Jokowi Bisa Jadi Beban Berat Pemerintah
Menhut Raja Juli Tantang Jokowi Soal Ijazah Asli Saat Pidato di UGM, Begini Faktanya
Jokowi Dinilai Belum Siap Lepas Jabatan, Benarkah Jadi Mantan Presiden Terberat?