Berkenaan dengan pertarungan ulama versus korporasi bisnis. Ia menuturkan sebetulnya, untuk menjelaskan potensi “perang terbuka” kedua kekuatan ini cukup mudah. Bahwa secara historis, ulama merupakan tokoh sentral umat muslim dalam memperjuangkan nasib kelompok islam marjinal.
Terkait marjinalisasi islam ini dengan cukup terang dan lugas diulas secara historis oleh Kuntowijoyo dalam An Evolutionary Approach to the Social History of the Umat Islam in Indonesia (1985). Dalam makalah tersebut dijelaskan bahwa proses marjinalisasi dan periferalisasi Islam di Indonesia telah terjadi bahkan pada masa negara agraris patrimonial Mataram.
Proses peminggiran kekuatan saudagar muslim dan juga kekuatan Islam pada umumnya terus berlangsung pada era kolonial Belanda hingga fase Indonesia merdeka. Problem histrois ini menempatkan kekuatan ulama dan Islam Indonesia pada umumnya berada pada posisi subordinat terhadap kekuatan pebisnis Tionghoa.
"Tarikan sejarah ini pula yang hingga kini masih terasa dalam dinamika sosial, politik dan terutama ekonomi,"katanya
Harsam juga mengakui bahwa pertarungan latensi antara ulama, saudagar muslim dan kekuatan Islam vis-a-vis korporasi bisnis yang mayoritas didominasi oleh nonpribumi adalah permasalahan klasik yang terjadi hingga kini. Pada momentum Pemilu, keduanya sebetulnya terlibat dalam perseteruan hebat, hanya saja gesekan ini seolah tak tampak karena sifatnya yang latensi.
"Kemungkinan perang terbuka kedua pihak akan terjadi pada Pilpres 2024,"imbuhnya
Perang antara ulama dan korporasi bisnis belakangan mulai terlihat pada prosesi pemilihan Ketua Pengurus Besar NU (PBNU) 2021-2026 pada Muktamar ke-34 di Lampung. Saat itu terdapat dua calon yang maju, mereka adalah Said Aqil Siradj (petahana) dan Yahya Cholil Staquf. Jika ditelaah, kedua figur memiliki latar belakang berbeda, terutama Said Aqil Siradj yang notabene memiliki relasi kuat dengan bisnis korporasi. Dengan demikian, majunya Said Aqil Siradj pada suksesi ketum PBNU kemarin sebetulnya sebuah gambaran tak kasat mata terkait perang antara korporasi bisnis versus NU.
Selain itu, pemicu lain perang antara ulama versus korporasi juga terletak pada janji pemberian konsesi lahan dari presiden Jokowi pada saat Kongres Umat yang diadakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 10-12 Desember 2021. Janji tersebut hingga kini belum ditepati. Sementara, pada kesempatan lain korporasi bisnis justru terus mengembangkan bisnis mereka dengan menyerobot lahan warga.
Sebagaimana merujuk hasil evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2018, bahwa sebanyak 40,46 juta hektare lahan di kawasan hutan dikuasai oleh usaha besar, sedangkan masyarakat hanya 1,74 juta hektare.
Selain itu, ketimpangan distribusi penguasaan tanah juga terlihat di sektor pertanian khususnya pada perkebunan sawit. Bahwa 72 persen dari 16,8 juta hektare total luasan tanah yang sudah ditanami sawit dikuasai oleh korporasi. Satu grup usaha bahkan menguasai tanah sekitar 502 ribu hektare, sedangkan petani hanya menguasai rata-rata 2,2 hektare.
Sementara, berdasarkan hasil sensus pertanian pada 2013, sebanyak 1,5 juta petani kaya atau sekitar 6,16 persen dari total rumah tangga petani di Indonesia hanya menguasai lahan seluas 8,63 juta hektare atau rata-rata 5,37 hektare per petani.
"Ini sangat timpang bila dibandingkan dengan 14,2 juta petani gurem (55,30 persen) yang hanya menguasai 2,67 juta hektare atau rata-rata 0,18 hektare per petani,"ungkapnya
Dia menilai berdasarkan hal tersebut bukan tidak mungkin ulama yang merasa dipermainkan dengan janji-janji pemerintah soal konsesi lahan akan mengambil jalur perlawanan dengan kelompok korporasi bisnis yang hari ini sangat leluasa dalam penguasaan tanah di Indonesia. Dengan demikian, bukan tidak mungkin Pemilu 2024 akan menjadi pertarungan sengit antara kelompok ulama dengan kelompok oligarki dalam menegaskan kepentingan kelompoknya.
Hal penting lain yang tidak bisa dipandang sebelah mata terkait perseteruan ulama dan korporasi bisnis ini yakni soal “blank cheque”. Kasus yang disebutkan terakhir ini menarik untuk diulas. Seperti diketahui, blank cheque dalam pengertian sederhananya merupakan sebuah situasi di mana kesepakatan telah dibuat secara terbuka namun tidak jelas dan rawan disalahgunakan.
"Kasus ini melibatkan korporasi-korporasi besar di tanah air dengan melibatkan para oknum birokrat, atau pejabat pemerintah,"katanya
Sedangkan, kebijakan karet untuk eksportasi batubara, pemberian lisensi, konsesi dan aneka kemudahan bagi kelompok korporasi bisnis menunjukkan dengan jelas betapa negara lebih cenderung melayani kepentingan penguasa modal dari pada mengakomodir kepentingan umat.
Di tengah segala keistimewaan dan kemewahan yang didapatkan korporasi bisnis, umat justru berada di posisi marjinal dalam segala aspek. Pengonsentrasian sumber daya (resources) di tangan para konglomerat membuktikan bahwa kepentingan umat sama sekali belum terakomodir.
"Inilah penyebab utama ulama versus korporasi bisnis pada Pemilu 2024 akan datang dalam rangka perjuangan kepentingan umat,"pungkasnya.
Sumber: suara.com
Artikel Terkait
Ijazah Jokowi Palsu? Survei Buktikan Mayoritas Masyarakat Justru Tidak Percaya
Gibran Dinilai Cerdas & Visioner, Survei Buktikan 71% Publik Puas!
Rizal Fadillah Sebut Jokowi Tak Hafal Salam UGM, Tuduh Ijazah Palsu: Stop Tipu-tipu!
Program MBG Prabowo-Gibran: Capaian Spektakuler di Tahun Pertama!