Kedua, mereka hanya boleh berkampanye jika mendukung partai politik mereka sendiri.
Bivitri menegaskan bahwa Prabowo-Gibran, sebagai pasangan calon nomor 2, tidak diusung oleh partai politik yang menjadi rumah bagi Jokowi, yaitu PDIP.
Ini menjadi poin penting karena hubungan Jokowi dengan pasangan calon nomor 2 adalah hubungan keluarga, bukan hubungan elektoral.
Ketiga, apabila berkampanye, presiden dan wakil presiden harus masuk dalam kepengurusan tim sukses.
Artinya, Jokowi juga harus terdaftar dalam tim kampanye resmi dari pasangan calon yang didukungnya.
Namun, hingga saat ini, hal tersebut tidak terjadi.
Baca Juga: Mahfud MD dan Keputusan Eksklusifnya: Mengurai Rencana Pengunduran Diri dan Respons Jokowi
Bivitri menyoroti bahwa prinsip dan etika penyelenggara negara harus diperhatikan.
Seorang pejabat negara sulit melepaskan diri dari fasilitas negara yang melekat pada mereka, seperti ajudan, sopir, hingga mobil, yang sulit untuk dilepaskan.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa pasal yang menyatakan hak presiden dan wakil presiden untuk berkampanye harus dibaca dalam konstruksi hukum yang utuh.
Lebih lanjut, Bivitri menyarankan agar Jokowi mundur dari jabatannya jika ingin terang-terangan turun gunung untuk berkampanye.
Ia mengkhawatirkan bahwa perilaku Jokowi dapat mempengaruhi para pembantunya, terutama Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diatur untuk bersikap netral.
Artikel ini telah lebih dulu tayang di: depok.hallo.id
Artikel Terkait
Puan Maharani Bongkar Masalah Utang Whoosh: DPR Akan Usut Tuntas!
Prof Henri Balik Badan Bongkar Rekayasa Gibran Cawapres: Saya Kecewa dengan Jokowi!
Misteri Dewa Luhut di Balik Proyek Whoosh: Rahasia yang Baru Terungkap
Fakta Mengejutkan di Balik Proyek Whoosh: Dugaan Markup Rp 60 Triliun dan Potensi Kerugian Negara