Meskipun kebijakan tersebut akhirnya dicabut, pernyataan dari pihak Gerindra yang menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukan merupakan kebijakan langsung dari Presiden Prabowo semakin memperburuk keadaan.
Bagaimana mungkin kebijakan yang menyangkut kebutuhan dasar masyarakat bisa dilepaskan begitu saja dari tanggung jawab pemerintah? Hal ini mencerminkan adanya masalah serius dalam komunikasi dan koordinasi antar kementerian.
Melihat perkembangan ini, berdasarkan analisa saya ada beberapa hal yang perlu dicermati; kemungkinan besar masalah ini terjadi karena panjangnya jalur komunikasi antara presiden, kabinet, dan kementerian.
Dengan adanya jalur komunikasi yang panjang, koordinasi antar lembaga menjadi minim dan kebijakan yang diambil tidak selalu mencerminkan kebijakan pusat yang terkoordinasi dengan baik.
Selain itu, banyak pihak yang mencurigai bahwa kabinet yang dibentuk oleh Prabowo lebih mengutamakan kepentingan politis dan balas budi kepada para tokoh yang mendukungnya selama pemilu, sehingga mengorbankan kepentingan rakyat.
Kabinet Gemoy Prabowo, yang menjadi bahan perbincangan di kalangan publik, ternyata masih memertahankan 17 orang menteri dari era sebelumnya, yang seolah menunjukkan bahwa tujuan utama pemerintah adalah mengamankan posisi-posisi strategis, bukan menjalankan pemerintahan untuk kepentingan rakyat.
Hal ini tentu saja mengundang kritik, karena kualitas kabinet dan keputusan-keputusan yang diambil sangat dipengaruhi oleh siapa yang memegang posisi tersebut.
Tarik-menarik kepentingan politik dan permainan untuk mengamankan posisi seolah menjadi prioritas utama.
Dalam kondisi seperti ini, pemerintahan yang seharusnya mengutamakan kesejahteraan rakyat bisa berpotensi mengalami kerusakan sistemik.
Banyak kebijakan yang lebih berorientasi pada pencapaian tujuan politik jangka pendek, bukan solusi konkret yang berfokus pada perbaikan ekonomi dan sosial bagi seluruh rakyat. fenomena ini seolah mengingatkan kita dengan kutipan dari Presiden Soekarno.
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”
Dampak dari kebijakan-kebijakan yang tidak terkoordinasi ini bisa sangat besar, bahkan berpotensi menciptakan masalah yang lebih kompleks di masa depan. Salah satunya adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Jika terus berlanjut, situasi ini bisa menciptakan ketegangan sosial dan politik, yang pada akhirnya akan merugikan Indonesia dalam jangka panjang.
Penting untuk diingat bahwa pemerintahan yang efektif bukan hanya soal memenuhi janji kampanye, tetapi juga soal membangun sistem yang dapat merespons kebutuhan masyarakat dengan bijaksana dan terukur.
Jika pemerintah terus terjebak dalam politik praktis dan pertarungan kekuasaan, maka tidak akan ada kemajuan yang signifikan dalam meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia.
Program-program seperti MBG harus diimbangi dengan kebijakan yang terarah dan berkelanjutan.
Pengalokasian anggaran untuk sektor-sektor penting seperti infrastruktur dan pendidikan harus tetap menjadi prioritas, meski harus ada penyesuaian dalam menghadapi tantangan ekonomi.
Pemerintah harus mampu mengelola sumber daya secara optimal, dengan tetap mengutamakan kepentingan rakyat dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya berdasarkan kebutuhan politis semata, tetapi juga demi kemajuan bangsa. ***
Artikel Terkait
Ijazah Jokowi Palsu? Survei Buktikan Mayoritas Masyarakat Justru Tidak Percaya
Gibran Dinilai Cerdas & Visioner, Survei Buktikan 71% Publik Puas!
Rizal Fadillah Sebut Jokowi Tak Hafal Salam UGM, Tuduh Ijazah Palsu: Stop Tipu-tipu!
Program MBG Prabowo-Gibran: Capaian Spektakuler di Tahun Pertama!