Sisi Gelap Presiden RI: Dari Bung Karno Sampai Prabowo

- Minggu, 17 Agustus 2025 | 13:20 WIB
Sisi Gelap Presiden RI: Dari Bung Karno Sampai Prabowo


Sisi Gelap Presiden RI: 'Dari Bung Karno Sampai Prabowo'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Di negeri ini, presiden sering dipuja lebih dari Tuhan, tapi dilupakan lebih cepat dari mantan. 


Dari kharismatik hingga kaku, dari jenderal hingga tukang kayu, dari orator ulung hingga pembuat puisi — semua pernah duduk di kursi RI-1. 


Namun rakyat kerap lupa: presiden hanyalah manusia. Dan manusia di kursi kekuasaan bisa berubah jadi monster. Mari kita kupas borok mereka satu per satu.


1. Bung Karno: Sang Singa yang Memakan Kawan


Bung Karno disebut “penyambung lidah rakyat.” Faktanya, ia juga penyambung borgol ke tangan kawan-kawannya. 


Banyak sahabatnya sendiri yang dipenjara karena berbeda pandangan. 


Revolusi baginya adalah panggung tunggal, dan siapa pun yang coba ambil peran tambahan, langsung diseret keluar. Ia proklamator kemerdekaan, tapi juga proklamator otoritarianisme.


Punchline: Revolusi jadi teater satu aktor — dan aktornya tak rela ada peran pengganti.


2. Soeharto: Jenderal yang Meninggalkan Sang Proklamator Sendirian


Soeharto dielu-elukan sebagai “Bapak Pembangunan.” Tapi ia juga bapak dari pengkhianatan politik. 


Bung Karno, yang memberinya jalan ke puncak, justru dikucilkan sampai mati dalam sepi. Saat proklamator sakit keras, ia menutup pintu. 


Kepada Harmoko dan Habibie pun ia enggan bersua. Kesetiaannya hanya pada kursi. Ia menempel sampai detik terakhir, meski akhirnya dipaksa turun.


Punchline: Ia membangun jalan tol, tapi juga jalan sunyi menuju otoritarianisme.


3. Habibie: Genius yang Tergelincir di Telepon


Habibie dikenal cerdas, visioner, bahkan bapak demokrasi. Tapi satu telepon dengan Jaksa Agung Andi Ghalib membongkar kelemahannya. 


Lisan yang cerdas berubah jadi jebakan. Ia membuktikan bahwa bahkan otak paling brilian bisa rapuh saat tergoda intrik politik.


Punchline: Ia mampu merakit pesawat, tapi tergelincir oleh percakapan sepele.


4. Gus Dur: Kiai yang Meledak di Panggung Publik


Gus Dur adalah simbol pluralisme dan humor. Namun emosinya gampang meledak. Wawancara televisi bisa berubah jadi panggung ngamuk. 


Wacana membubarkan Golkar keluar dari mulutnya — bukan presiden, tapi terdengar seperti preman politik. Demokrasi di tangannya kadang indah, kadang seperti orkestra tanpa konduktor.


Punchline: Presiden nyeni yang menganggap negara ini panggung improvisasi.


5. Megawati: Dingin, Dendam, dan Sunyi


Bu Mega digambarkan kalem. Nyatanya, ia menyimpan dendam yang awet lebih dari formalin. SBY sampai kini tak pernah benar-benar ia maafkan. 


Kini, Jokowi — presiden yang ia angkat sendiri — jadi musuh barunya. Politik Megawati seperti freezer: dingin, beku, dan penuh dendam yang tak pernah cair.


Punchline: Ia ibu bangsa, tapi juga ibu dari politik balas budi dan balas dendam.


6. SBY: Presiden Seribu Kata, Nol Keputusan


SBY adalah presiden paling puitis. Sayangnya, bangsa ini butuh keputusan, bukan puisi. Dalam krisis, ia sibuk memilih diksi, sementara rakyat menunggu aksi. 


Era SBY adalah masa korupsi berjamaah, tapi yang paling ia jaga adalah citra pribadi. Ia presiden yang takut salah, hingga lebih memilih banyak kata daripada satu tindakan nyata.


Punchline: Negara serasa seminar panjang tanpa kesimpulan.


7. Jokowi: Wajah Lemah Lembut, Tangan Berlumur Darah


Jokowi masuk dengan citra sederhana, merakyat, penuh senyum. Tapi segera kebengisannya muncul: eksekusi mati para terpidana narkoba jadi tanda tangan pertama. 


Nepotisme dibuka lebar, konstitusi dipermainkan, oposisi dibungkam. Jokowi adalah paradoks: wajah lugu yang menutupi siasat, kesantunan yang menutupi kebengisan.


Punchline: Ia tersenyum di depan kamera, tapi demokrasi tercekik di belakang layar.


8. Prabowo: Singa Podium, Kucing Istana


Prabowo selalu lantang soal nasionalisme dan kedaulatan. Tapi begitu masuk kabinet Jokowi, api itu padam. 


Dulu menuding lawan curang, kini bertekuk lutut. Dari singa podium, ia berubah jadi kucing jinak di istana. Patriotisme jadi aksesori, kekuasaan jadi kenyamanan.


Punchline: Suara lantang di lapangan, tapi mengeong manja di ruang kekuasaan.


Penutup: Presiden Kita, Cermin Buram Bangsa


Inilah wajah para presiden: Soekarno yang otoriter, Soeharto yang pengkhianat, Habibie yang tergelincir, Gus Dur yang meledak, Megawati yang dendam, SBY yang lamban, Jokowi yang bengis, dan Prabowo yang inkonsisten.


Bangsa ini jangan lagi silau oleh pidato dan pencitraan. Karena mencintai bangsa bukan berarti menyembah presidennya, melainkan berani mengkritik bahkan membongkar keburukan mereka. 


Kalau tidak, kita hanya akan jadi bangsa pemuja bayangan — dan bayangan itu tak pernah membawa kita ke terang. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar