Sikap masing-masing negara Asia Tenggara secara individu, boleh jadi berbeda terhadap krisis Rusia-Ukraina. Namun, ditegaskan Ismail, solidaritas ASEAN dalam pertemuan dengan AS pekan lalu, sangat menonjol.
"Prinsip-prinsip ASEAN terkait kawasan damai, bebas, dan netral tersampaikan dengan baik selama pembicaraan dengan Biden," jelasnya.
Dalam pertemuan puncak AS-ASEAN itu, negara-negara di kawasan memang cukup kuat berpegang pada prinsip-prinsip ASEAN. Hanya saja, tidak lantas berarti ujian berupa tekanan-tekanan dari Barat, khususnya AS, terhenti begitu saja.
Sepanjang tahun ini saja, setidaknya sebagian negara ASEAN harus kembali menghadapi ujian serupa, khususnya terkait isu Rusia-Ukraina, terutama Kamboja, Indonesia, dan Thailand.
Kamboja, yang memegang tampuk kepemimpinan ASEAN tahun ini, dijadwalkan November mendatang menjadi tuan rumah pertemuan puncak ASEAN dan negara-negara mitra dialog, yang antara lain AS dan Rusia.
Pada waktu yang berdekatan, Indonesia yang memegang presidensi G20, juga akan menggelar pertemuan puncak G-20 yang melibatkan AS dan Rusia. Selanjutnya, Thailand juga menjadi tuan rumah bagi pertemuan Kerja sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), yang juga melibatkan AS dan Rusia.
Dalam pertemuan-pertemuan tersebut sulit dipungkiri adanya tekanan dari negara-negara Barat agar negara-negara di kawasan 'menjauhi' dan tidak mengundang Rusia.
Dalam pertemuan-pertemuan tersebut sulit dipungkiri adanya tekanan dari negara-negara Barat agar negara-negara di kawasan 'menjauhi' dan tidak mengundang Rusia. Indonesia misalnya, sudah mendapat ancaman dari AS untuk tidak menghadiri pertemuan puncak G20 jika mengundang Rusia.
Menghadapi ancaman ini, Presiden Indonesia Joko Widodo, tetap mengundang Rusia dan juga mengundang Ukraina meski bukan anggota G20. Upaya ini jelas membuka peluang mencapai solusi secara damai. Tekanan-tekanan seperti itu bukan tak mungkin dialami pula Kamboja dan Thailand.
Meski tidak seluruhnya negara-negara ASEAN tercakup dalam pertemuan-pertemuan itu, namun tetap penting bagi Kamboja, Indonesia, dan Thailand, sebagai tuan rumah mengambil sikap sesuai dengan prinsip-prinsip ASEAN sebagai satu kesatuan.
Dalam konteks ini, agaknya, ketiga negara tersebut sudah jauh-jauh hari mengantisipasi, dengan membuat dan mempublikasikan pernyataan bersama, awal bulan ini.
Selain menjelaskan pentingnya masing-masing pertemuan tersebut, Kamboja, Indonesia, dan Thailand, juga menegaskan bakal mengedepankan sentralitas, kredibilitas, dan relevansi ASEAN dalam menjaga perdamaian regional dan global.
Terkait itu, sebagai tuan rumah pertemuan, pernyataan bersama Kamboja, Indonesia, dan Thailand, tersebut secara gamblang menyatakan akan tetap bekerja sama dengan semua negara terlibat. Pernyataan ini mengindikasikan ketiga negara tetap berupaya melibatkan Rusia dalam semua pertemuan yang digelar.
Tekanan-tekanan terhadap ketiga negara tersebut untuk 'menjauhi' Rusia, hampir pasti terus dilakukan. Namun, tidak tertutup pula kemungkin tekanan, terutama dari AS, bisa melunak. Kamboja, Indonesia, dan Thailand sudah mengecam Rusia lewat forum PBB, dan ini sejalan dengan sikap AS.
Selain itu, AS sendiri memiliki kepentingan di Asia Tenggara. Dalam upaya mengimbangi kekuatan pengaruh Cina di kawasan, AS sedang gencar-gencarnya mengusung konsep Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF), yang disebut-sebut untuk menghambat pengaruh Cina di kawasan. Guna mengimplementasikan kerangka tersebut, AS membutuhkan kemitraan dengan ASEAN.
Apapun, dalam konteks krisis Rusia-Ukraina, tekanan dari AS dan negara-negara Barat lain, merupakan ujian bagi sentralitas dan netralitas ASEAN. Kebersamaan sikap yang ditunjukkan negara-negara di kawasan dalam pertemuan dengan pemerintahan Biden, merupakan modal penting dalam menghadapi ujian tersebut. Bukan hanya terkait isu Rusia-Ukraina, tapi juga isu internal ASEAN seperti Myanmar, serta isu terkait rivalitas AS-Cina.
Di lain pihak, guna merealisasikan keinginan untuk kembali menanamkan pengaruh di kawasan, setelah diabaikan di masa pemerintahan Donald Trump, AS perlu mengubah pendekatan. Pemerintahan Biden perlu mengutamakan pendekatan yang lebih mendukung ketimbang mendikte negara-negara berkembang di kawasan.
Apalagi, pertemuan Biden dengan pemimpin ASEAN pekan lalu, membuktikan framing perang global demokrasi versus otokrasi, kurang mendapat perhatian di Asia Tenggara. Sudah saatnya bagi AS untuk mengutamakan pendekatan di kawasan dengan strategi geo-ekonomi ketimbang upaya 'menyingkirkan' negara lain secara geopolitik.
Sumber: republika.id
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid