Kunci dan peringatan 'malapetaka' pengungsi Palestina - Simbol harapan agar bisa kembali ke tanah kelahiran

- Selasa, 16 Mei 2023 | 19:30 WIB
Kunci dan peringatan 'malapetaka' pengungsi Palestina - Simbol harapan agar bisa kembali ke tanah kelahiran

Kunci-kunci itu memiliki desain polos dan biasa saja. Beberapa di antaranya telah berkarat, dan bobotnya cukup berat. Tetapi ini bukan sekadar bongkahan logam.

Setiap tahun, pada Hari Nakba, warga Palestina turun ke jalan sambil memegang salah satu peninggalan paling berharga, yang disimpan dan dijaga oleh banyak keluarga dari generasi ke generasi.

Benda itu adalah kunci dari rumah yang mereka tinggali dulu. Sejak 75 tahun lalu, mereka diusir dari rumah dan tidak pernah bisa kembali.

"Mereka menyimpan kunci karena ada harapan dan keinginan untuk kembali. Kunci-kunci ini adalah simbol dari rumah-rumah itu, tidak peduli apakah rumahnya masih berdiri atau hancur.

“Dan mereka memiliki hak untuk kembali ke rumah mereka, yang dijanjikan oleh hukum internasional kepada mereka," kata Lubnah Shomali kepada BBC World dari Ramallah, Tepi Barat. Dia adalah anggota dewan BADIL, Pusat Sumber Daya Palestina untuk Kewarganegaraan dan Hak Pengungsi.

Lebih dari 750.000 warga Palestina diusir dari rumah mereka dan terpaksa mengungsi, setelah Israel mendeklarasikan kemerdekaannya karena Mandat Inggris atas Palestina pada 14 Mei 1948 berakhir, dan selama perang Arab-Israel yang dimulai keesokan harinya— berlangsung selama 15 bulan.

Inilah yang dikenal orang Arab sebagai Nakba atau "malapetaka", yang diperingati setiap tanggal 15 Mei dengan demonstrasi, di mana kunci memiliki peran dominan.

Warga Palestina, yang tinggal di wilayah yang berubah menjadi wilayah Israel, menuduh tentara Israel dan milisi Zionis mengusir mereka. Mereka tidak pernah diizinkan untuk kembali.

Namun secara resmi, otoritas Israel kemudian mengeluarkan pembelaan bahwa negara-negara Arab lah yang meminta warga Palestina untuk meninggalkan tanah dan rumah mereka agar tidak menderita akibat perang, begitu mereka menginvasi Negara Israel yang baru lahir.

Saat ini, PBB mengakui ada lebih dari 5,9 juta pengungsi Palestina, banyak di antaranya tinggal di kamp-kamp di Yordania, Gaza, Tepi Barat, Suriah, Lebanon, dan Yerusalem Timur.

“Ada banyak ketakutan di antara komunitas Palestina, begitu banyak yang melarikan diri dengan membawa apa saja yang bisa mereka bawa, termasuk kuncinya.

“Mereka mengunci rumah karena berpikir, ketika kekerasan mereda, mereka dapat kembali ke sana dan melanjutkan hidup mereka,” ujar Shomali.

Namun, hal itu tidak pernah terjadi.

Dalam banyak kasus, tidak ada yang tersisa untuk kembali, seperti halnya dengan Al-Birwa, kampung halaman Mahmud Darwish, penyair besar Palestina.

Ketika tentara Israel tiba pada 11 Juni di Al-Birwa— kira-kira 10 kilometer dari Acre—, sekitar 1.500 orang tinggal di sana. Kini, hanya satu sekolah yang masih berdiri.

"Di hari ketika para tentara muncul, orang tua saya mengambil beberapa barang mereka dan pergi ke kota terdekat. Di sana mereka menghabiskan beberapa hari di bawah pohon zaitun bersama kakek-nenek dan dua kakak laki-laki saya," kata Mohamed Kayyal kepada BBC Mundo, di rumahnya di Yudeidi al Makr, Galilea.

Keluarganya juga harus mengungsi dari Al-Birwa.

Orang tuanya, Abdul Razik dan Amina, memiliki sebidang tanah yang luas, tempat mereka menanam pohon buah-buahan, pohon zaitun, dan tanaman lainnya.

"Mereka menjalani kehidupan yang baik, mereka tidak kekurangan apa pun," kata Kayyal, seorang jurnalis dan penerjemah, yang mengenang bahwa mereka sering pergi ke Haifa untuk menonton film atau konser bintang Arab saat itu, seperti Umm Kulzum atau Mohamed Abdel Wahab.

Kehidupan nyaman itu berakhir dalam semalam. Hanya 50 orang yang tersisa di Al-Birwa, berlindung di gereja desa bersama pastor paroki, kata Kayyal.

Beberapa hari kemudian, mereka juga diusir setelah terjadi bentrokan sengit.

Keluarga Kayyal memulai ziarah mereka melalui kota-kota terdekat. Di kota-kota itu mereka disambut hangat, pertama oleh keluarga Druze, kemudian oleh keluarga Kristen, dan terakhir oleh keluarga Muslim.

Abdel Razek mulai bekerja di sebuah pabrik, sebagai buruh harian dan penjaga malam. Dari pekerjaan itu dia dapat menabung untuk membeli sebidang kecil tanah di Yudeidi, sekitar dua kilometer dari kampung halamannya, dan membangun kamar untuk hidup mandiri.

Mohamed lahir di sana dan telah tinggal di sana selama 67 tahun. Namun, seperti kebanyakan orang Palestina lainnya, jika ditanya dari mana asalnya, dia akan selalu menjawab "dari Al-Birwa".

"Orang tua saya tidak pernah putus asa untuk bisa kembali ke Al-Birwa, meskipun mereka tidak pernah menginjakkan kaki di desa mereka lagi," kata Kayyal dengan getir.

Ketika mereka meninggal, jenazah mereka tidak dapat beristirahat di tanah tempat mereka dilahirkan.

Pemakaman kota telah dicemari dan tidak ada lagi yang dimakamkan di sana setelah 1948. Bahkan tetangganya yang paling terkenal, Mahmud Darwish, pun tidak bisa dimakamkan di sana. Dia dimakamkan Ramallah.

Kisah Darwish maupun Kayyal adalah satu dari ratusan ribu kisah pengasingan yang telah merajut kesadaran nasional Palestina.

"Warga Palestina tahu bahwa banyak dari desa dan rumah itu sudah tidak ada lagi," jelas sejarawan Palestina-Amerika Rashid Khalidi.

"Tetapi kunci-kunci itu tetap menjadi simbol keinginan untuk kembali ke Palestina," kata Ketua Studi Arab Modern Edward Said itu.

Seperti Al-Birwa, sekitar 400 kotapraja Palestina terkena dampaknya.

Menurut Profesor Khalidi, ketika pertempuran dimulai pada akhir 1947 (setelah PBB mengumumkan rencananya untuk membagi Palestina, yang membelah wilayah itu menjadi dua negara, satu Yahudi dan satu Arab) hingga proklamasi Negara Israel pada 14 Mei 1948, "sekitar 300.000 warga Palestina diusir dari rumah mereka oleh milisi Zionis".

Halaman:

Komentar

Terpopuler