Urusan narasi "bajingan tolol" yang merupakan paralel dari pandangan politik secara hak kritik demokratik rakyat yang cerdas cara seorang cendekiawan akhirnya malah menjadi bukti empiris masih adanya tipikal mental "bajingan tolol" yang seakan punya hak atas "nyawa" Rocky Gerung.
Apa yang terjadi pada RG sesungguhnya bagian fakta gagalnya reformasi mental yang menjadi salah satu tujuan politik Presiden Jokowi. Dan bukan salahnya meskipun presiden adalah lembaga kebijakan tertinggi dalam membangun bangsa dan negaranya.
Apakah para petinggi negara termasuk Istana tak pernah terlintas untuk justru bagaimana sebaiknya dapat memberdayakan keilmuan doktrin moral dan etika berdemokrasi, berbirokrasi, hingga berbangsa dan bernegara sosok Rocky Gerung ini ketimbang antipati bahkan cenderung "memusuhinya"?
Tentu saja hal itu dapat dilakukan dengan mencermati kritikan dan pandangannya di mimbar luar bebas di manapun atau diangkat sebagai konsultan negara.
Sehingga dengan demikian pemanfaatan anak bangsa ini dapat dijadikan model contoh di bidang lain, ketimbang sekadar memelihara "geng buzzer" yang lebih banyak mudharat daripada manfaatnya.
(Penulis adalah pemerhati sosial politik)
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid