PDIP, Rocky Gerung, dan Masa Depan Buruh

- Kamis, 30 November 2023 | 18:30 WIB
PDIP, Rocky Gerung, dan Masa Depan Buruh



 OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN

   

KETUA Bantuan Hukum PDIP telah memberikan rilis atau pernyataan yang dikutip berbagai media nasional bahwa mereka mencabut pengaduannya atas Rocky Gerung di Kepolisian RI atas ucapan "Bajingan Tolol" yang ditujukan pada Jokowi.


Johannes Lumban Tobing, PDIP, dalam alasan pencabutannya mengatakan, mereka sepakat ternyata Jokowi sesuai dengan apa yang disebut Rocky, karena ternyata Jokowi lebih mementingkan urusan pribadi atau keluarga daripada kepentingan bangsa.





Meskipun terlambat, pengakuan PDIP ini patut diapresiasi. Istilah "Better late than never" dari sikap PDIP ini membuka jalan bagi mencari makna hakiki dari konsep negara, kepemimpinan negara dan "national interest".


Meskipun polisi mengatakan pencabutan laporan PDIP ini tidak membuat polisi berhenti mengusut kasus pidana peristiwa tersebut. Namun sebagai partai terbesar di tanah air, perubahan PDIP ini menunjukkan semangat kemenangan menegakkan kebenaran akan lebih mungkin dicapai nantinya.


Tiga bulan lalu ketika saya berdebat dengan Deddy Sitorus, PDIP, dan Irma Suryani Chaniago (Nasdem), di TVOne, di mana mereka berdua mengeluarkan kebencian besar terhadap Rocky, saya menekankan bahwa kasus Rocky ini adalah soal biasa dalam demokrasi.


Perubahan persepsi kita soal presiden atau elite-elite nasional berubah seiring melemahnya demokrasi di era Jokowi. Melemahnya demokrasi berbanding terbalik dengan meningkatnya autokrasi, di mana seorang pemimpin menjadi sakral dan otoriter.


Di era SBY, ketika semangat demokrasi masih bergelora, demo terhadap SBY, secara langsung kerap dilakukan. Bahkan, SBY pernah didemo dengan kerbau yang ditulis SBY di badan kerbau dibawa di depan istana negara.


Tentu saja soal etika menjadi diskursus ketika itu. Namun, SBY maupun pendukungnya, seperti saya saat itu, tidak membawa perkara itu ke polisi.


Mahkamah Konstitusi sendiri, dalam kepemimpinan Jimly Asshiddiqie kala itu, mencabut pasal-pasal pidana penghinaan presiden yang ada di KUHP. Sebab, pasal-pasal ini adalah warisan kolonial Belanda.


Kembalinya cara pandang PDIP yang melihat kasus Rocky ini sebagai hal biasa berdemokrasi, sebuah kemajuan besar bagi bangsa. Mudah-mudahan seluruh kekuatan bangsa lainnya, baik parpol maupun elite politik, mengambil sikap yang sama.


Mengkritik presiden ataupun seperti pemenjaraan saya ketika mengkritik UU Omnibus Law Ciptaker, 2020, pemidanaan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, serta pemenjaraan ulama dapat ditiadakan sehingga kebencian antara kelompok dapat diselesaikan melalui cara-cara beradab dalam naungan demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Halaman:

Komentar

Terpopuler