"Ini tentu membawa konsekuensi kepada kebijakan fiskal kita, terutama yang berhubungan dengan subsidi, kompensasi, dan sebagian juga hubungan kita dengan Bank Indonesia di dalam mengelola inflasi di dalam negeri, baik itu karena faktor core inflation maupun inflasi yang berasal dari permintaan-permintaan barang dan jasa, maupun barang-barang yang diatur pemerintah," ujar Sri Mulyani saat doorstop usai Rapat Paripurna DPR RI ke-24 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (31/5/2022).
Menurutnya, inflasi yang tinggi tersebut akan direspons oleh negara-negara maju dengan pengetatan moneter, serta kenaikan suku bunga dan likuiditas. Melihat kondisi tersebut, Pemerintah harus mengantisipasi kenaikan suku bunga dan dampak terhadap nilai tukar.
Oleh karena itu, tahun 2023 mendatang, Pemerintah mengajukan kebijakan ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal dengan tetap mengikuti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, yaitu defisit diturunkan di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Angka ini memberikan sinyal bahwa Indonesia tetap komit terhadap kesehatan dan penyehatan APBN, namun di sisi lain, APBN tetap menjaga dalam hal ini countercyclical maupun shock absorber function," ujarnya.
Lebih lanjut ia menuturkan, Pemerintah selalu mencari titik seimbang antara tekanan yang terjadi akibat fenomena global dan kebutuhan dalam negeri untuk meneruskan pembangunan, terutama perbaikan produktivitas dan kualitas dari perekonomian dan masyarakat.
"Ini yang menjadi fokus APBN kita yaitu memperbaiki dan meningkatkan produktivitas dan kualitas dari perekonomian dan SDM sehingga Indonesia makin meningkat," papar Sri Mulyani.
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid