POLHUKAM.ID - Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengancam bakal menduduki gedung DPR/MPR apabila surat tuntutan pemakzulan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka tak segera diproses.
Surat tuntutan kepada lembaga perwakilan rakyat itu telah dikirim forum tersebut pada 26 Mei 2025 dengan ditujukan ke Ketua MPR dan Ketua DPR itu.
Surat diteken empat purnawirawan TNI, yakni Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto.
"Kalau sudah kita dekati dengan cara yang sopan, tapi diabaikan, enggak ada langkah lagi selain ambil secara paksa, kita duduki MPR Senayan sana, oleh karena itu saya minta siapkan kekuatan," kata mantan Kepala Staf TNI AL, Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto di Jakarta Selatan, Rabu (2/7).
Dalam kesempatan sama, mantan Wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi mengklaim pemakzulan terhadap Gibran juga sudah memenuhi syarat seperti yang diatur dalam Pasal 7A UUD 1945.
Pasal 7A itu berbunyi 'Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden'.
"Secara nyata ya itu satu, dia sudah melakukan hal-hal yang sangat memalukan, apa dalam bahasa Undang-Undang itu disebut hal-hal tercela. Kedua, dia melakukan korupsi meskipun belum terbukti. Tapi kalau kita lihat, kita dengar bahwa segala hal yang disampaikan, rasanya enggak terbantahkan, itu terbukti," tutur Fachrul Razi yang juga pernah menjadi Menteri Agama tersebut.
"Dan selanjutnya yang ketiga, bahwa tidak lagi memenuhi syarat sebagai wakil presiden. Itu disebut nyata di dalam Pasar 7A Undang-Undang Dasar 45. Jadi kalau dari aspek itu saya kira sudah terpenuhi, tinggal sebetulnya DPR mengambil langkah-langkah mengusut apa betul sesuai itu, dan kalau sudah saya kira enggak usah tunggu lama-lama lah," imbuhnya.
Lebih lanjut, Fachrul pun mendesak parlemen untuk segera memproses surat berisi tuntutan pemakzulan terhadap Gibran selaku wapres.
"Kasihan bangsa ini, apa jadinya bangsa ini. Nanti jadi bahan ketawaan negara lain kita ini. Dipimpin oleh tamatan SMP, yang enggak jelas juga ilmunya, yang mengaku bahwa dia enggak pernah baca-baca pak, enggak ada budaya baca di rumah kami, kata beliau kan ya. Mungkin budayanya, budaya main game," ucap dia.
Secara umum, surat pemakzulan dari purnawirawan TNI itu berisi pernyataan bahwa Gibran yang merupakan putra Presiden ke-7 Joko Widodo itu telah melanggar hukum dan etika publik.
Menurut mereka atas dasar konstitusi, etika kenegaraan, dan prinsip demokrasi, surat itu mengusulkan kepada MPR dan DPR memproses pemakzulan (impeachment) terhadap Wakil Presiden berdasar ketentuan hukum yang berlaku.
Terkait surat itu, Ketua DPR RI Puan Maharani mengaku belum menerimanya. Namun, ia memastikan akan membaca dan memproses surat tersebut sesuai mekanisme.
"Surat belum kita terima karena baru hari Selasa dibuka masa sidangnya, masih banyak surat yang menumpuk, namun nanti kalau sudah diterima tentu saja kita akan baca dan kita akan proses sesuai dengan mekanismenya," kata Puan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (1/7).
Puan juga mengaku belum mengetahui apakah surat tersebut sudah diterima oleh Setjen MPR dan DPD.
"Jadi kita lihat dulu bagaimana dan seperti apa dan apakah MPR dan DPD sudah menerima, saya belum berkoordinasi dengan, kesekjenan belum berkoordinasi dengan kesekjenan MPR dan DPD," ujarnya.
Gibran sejauh ini belum memberikan komentar langsung terkait hal tersebut.
Sementara itu, bulan lalu, Jokowi mengatakan pemilihan kepala negara di Indonesia dilakukan dalam satu paket koalisi.
Dan, sambungnya, wacana pemakzulan yang muncul hanya dinamika politik yang biasa saja.
"Pemilihan presiden dan wakil presiden kemarin, kan, satu paket. Bukan sendiri-sendiri," kata Jokowi saat ditemui di kediamannya usai salat Iduladha, Jumat (6/6).
Meski demikian, Jokowi menilai upaya pemakzulan anaknya itu sebagai dinamika politik biasa.
"Bahwa ada yang menyurati seperti itu, itu dinamika demokrasi kita. Biasa saja. Biasa," kata Jokowi.
Lebih lanjut, Jokowi menegaskan, Indonesia memiliki mekanisme ketatanegaraan untuk memakzulkan kepala negara.
Ada syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi untuk melengserkan presiden maupun wakilnya.
"Pemakzulan itu harus presiden atau wakil presiden misalnya korupsi, atau melakukan perbuatan tercela, atau melakukan pelanggaran berat. Itu baru [bisa dimakzulkan]," kata dia.
Sumber: CNN
Artikel Terkait
Hasto Kristiyanto Jalani Sidang Tuntutan Hari Ini
Vonis Penjara Disunat MA 2,5 Tahun, Kuasa Hukum: Seharusnya Setnov Bebas
KPK Beri Sinyal Dugaan Keterlibatan Eks Menhub Budi Karya di Korupsi DJKA, Kapan Diperiksa Lagi?
Siapa Pemilik Pistol Jenis Beretta Lengkap dengan 7 Peluru di Rumah Topan Ginting?