Mengejutkan! Greenpeace Ungkap 3 Izin Tambang Raja Ampat Diaktifkan Lagi Lewat Pengadilan

- Kamis, 12 Juni 2025 | 15:55 WIB
Mengejutkan! Greenpeace Ungkap 3 Izin Tambang Raja Ampat Diaktifkan Lagi Lewat Pengadilan




POLHUKAM.ID - Greenpeace Indonesia mencatat total ada 16 izin usaha pertambangan (IUP) pertambangan nikel yang sempat diterbitkan dan beroperasi di wilayah Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.


Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas mengatakan dari jumlah tersebut, sebagian besar atau 13 di antaranya berada di wilayah Geopark. 


Namun, kini tersisa lima izin aktif yang empat di antaranya berada di wilayah Geopark dan satu izin di luar.


"Nah yang dicabut itu empat izin yang berada di dalam wilayah Geopark," kata Rio, sapaan akrabnya dalam diskusi yang digelar Greenpeace Indonesia, di Jakarta, Kamis (12/6).


3 Izin Diaktifkan Lagi


Di luar itu, Rio menyebut kini ada tiga izin pertambangan yang tengah kembali diaktifkan lagi lewat jalur pengadilan. 


Dia tak menutup kemungkinan izin-izin pertambangan yang sebelumnya tidak aktif akan aktif kembali.


"Jadi sebenarnya proses-proses yang sempat tidak aktif tadi, itu sedang melakukan gugatan dan sangat potensial untuk kembali aktif ketika mereka menang di pengadilan," kata Rio.


Jumlah itu, kata dia, belum termasuk dua izin yang sudah diterbitkan kembali pada 2025. 


Selain itu, bahkan ada pula empat izin pertambangan yang diterbitkan untuk beroperasi di pulau-pulau kecil yang tersebar di Raja Ampat.


"Itu yang menjadi fakta-fakta dari temuan kami. Jadi kita perlu hati-hati bahwa pencabutan izin yang dilakukan Menteri ESDM setelah bertemu dengan Bapak Prabowo ini masih menjadi pertanyaan besar," katanya.


"Sehingga kita penting mengawal bagaimana sebenarnya yang tadi dibilang surga terakhir ini betul-betul terlindungi," imbuh Rio.


KPK Mengaku Kaget: Kok Banyak Tambang Nikel di Raja Ampat?


Kepala Satuan Tugas (Satgas) Korsup Wilayah V KPK, Dian Patria mengaku sempat kaget dan memberi perhatian terhadap keberadaan tambang-tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.


Dian mengaku dirinya menyoroti hal itu dalam laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 


Namun, Dian mengaku tak sampai mendalami dugaan kejanggalan tersebut karena terkait pembagian wewenang.


"Saya sudah mention ini dua tahun lalu dalam laporan BPKP, kok ada banyak tambang nikel ya di Raja Ampat?" kata Dian dalam diskusi yang digelar Greenpeace Indonesia di Jakarta, Kamis (12/6).


Secara umum, Dian mengatakan ada 10 permasalahan pada sektor pertambangan. 


Salah satunya, resentralisasi. Menurut dia, izin usaha pertambangan nikel umumnya terpusat di Jakarta.


Menurut Dian, UU Cipta Kerja memang memberikan kemudahan dalam berinvestasi tapi sulit dalam pengawasan. 


Umumnya, Dian mengungkap ada banyak aturan tumpang tindih antara UU Ciptaker dan undang-undang yang lain.


"Rasanya Omnibus memberikan kemudahan investasi. Tapi untuk pengawasannya enggak ketemu. Enggak ada kemudahan untuk pengawasan, hanya kemudahan di hulu," kata Dian.


Selain itu, Dian mengatakan pihaknya juga mengungkap ketidakpatuhan perizinan. 


Menurut dia, dari sekitar 11 ribu izin usaha pertambangan, sebanyak 1.850 di antaranya tak memiliki Mine Planning and Production (MPP).


Dian mengaku pihaknya perlu mendalami sejumlah persoalan pada sektor izin usaha pertambangan. Termasuk di dalamnya kepatuhan pajak pada perusahaan tambang.


"Sayangnya kalau untuk pajak pusat, kewenangannya ini sekarang ditarik semuanya ke pusat. Kanwil, KPP tidak punya lagi kewenangan. Ini agak sulit juga ini," kata Dian.


KPK, lanjut Dian, juga menyoroti model baru reaktivasi izin usaha pertambangan lewat pengadilan atau PTUN. 


Menurut dia, hal itu menjadi praktik baru yang belakangan kerap dilakukan izin usaha pertambangan untuk kembali beroperasi.


"Karena ada laporan juga. Jangan sampai ada modus. Mereka PTUN, mengatakan tak pernah ada bicara, tahu-tahu menang di pengadilan. Ini juga kita khawatirkan," katanya.


Sumber: Suara

Komentar