The Real Omon-Omon: 'Janji Gibran, Pengangguran, Pukulan Realitas IMF!'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Di negeri kita ini, janji adalah barang murah. Dijajakan saban musim kampanye, digantung di langit-langit mimpi rakyat, lalu menguap seperti embun disiram matahari siang bolong.
Kali ini, yang menjual janji bukan pedagang asongan, bukan pula pengemis dukungan, melainkan seorang putra mahkota demokrasi baru: Mas Gibran, Wakil Presiden termuda, calon pemecah rekor dari keluarga yang doyan politik bak orang lapar ketemu prasmanan.
Katanya, Mas Gibran ingin menciptakan 19 juta lapangan kerja. Angka yang molek, bulat, dan sedap didengar telinga kaum muda yang sehari-hari akrab dengan status fresh graduate but unemployed.
Hebat betul. Bila benar terlaksana, ini bukan revolusi industri, tapi revolusi ilusi.
Sebab realitas berbicara lain, dan kali ini yang bicara bukan akun fake oposan di media sosial, tapi IMF, si institusi internasional berkaca mata tebal yang lebih percaya pada angka dibanding mimpi.
Menurut laporan IMF, Indonesia dalam waktu dekat akan menyandang predikat tak sedap: peringkat ke-3 pengangguran tertinggi di dunia. Sorry se Asia.
Sebuah prestasi muram, namun konsisten dengan nasib negeri yang senang membangun istana tapi melupakan rakyat jelata yang mencari kerja sambil menenteng ijazah fotokopi.
Sungguh ironis: satu sisi janji menciptakan jutaan pekerjaan, sisi lain dunia memproyeksi kita makin banyak yang nganggur.
Saya jadi teringat ucapan guru ngaji di kampung, “Boleh bermimpi setinggi langit, asal jangan lupa bayar utang di warung.”
Begitu juga dalam politik: boleh menjanjikan 19 juta lapangan kerja, asal jangan lupa bahwa kita ini sedang hidup di republik yang bahkan untuk mengurangi 3 juta penganggur saja ngos-ngosan setengah mati.
Lha ini mau langsung loncat 19 juta, kayak main sulap. Sim salabim abrakadabra, tiba-tiba semua sarjana jadi manajer.
Lucunya lagi, yang dijanjikan bukan “menyediakan” 19 juta lapangan kerja, tapi “menciptakan”. Ciptaan, kata KBBI, berarti membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada.
Lha wong yang sudah ada saja tidak bisa dijaga, mau bikin baru? Ini bukan game simulasi ekonomi, Mas Bro.
Ini realitas, tempat buruh di PHK, UMKM megap-megap, dan startup bangkrut satu demi satu seperti dominonya si investor.
Di sinilah letak absurditas kita. Satu pihak bicara angka bombastis demi suara, sementara kenyataan bicara data yang mencekik.
Seolah-olah pengangguran itu bisa disulap dengan platform digital, program magang bersertifikat, atau pembangunan Ibu Kota baru yang katanya menyedot tenaga kerja, padahal lebih banyak menyedot anggaran negara.
Kalau begini terus, jangan-jangan kita akan jadi negara pertama yang punya “lapangan kerja virtual”—banyak lowongan, tapi hanya hidup di atas slide PowerPoint.
Sementara rakyat tetap antre di kantor pos menunggu bansos, sambil bertanya dalam hati: “Lha, mana janjimu, Mas?”
Maka, sebelum kita larut dalam euforia “Janji Gibran”, mari kita waras sejenak. Bertanya bukan berarti benci.
Mengkritik bukan berarti iri. Hanya saja, sejarah terlalu kenyang dengan janji-janji yang tak pernah lunas.
Dan rakyat Indonesia, barangkali, sudah terlalu lama belajar mencintai pemimpin yang pandai bicara tapi lupa bekerja. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Viral MBG di Tangsel, Siswa Dikasih Bahan Mentah untuk Lima Hari: Beras hingga Ikan Asin
Terungkap Motif Pelaku Mutilasi di Padang Pariaman, Tubuh Korban Dipotong dengan Parang jadi 10 Bagian
Kasus Mutilasi Ungkap Pembunuhan Berantai di Padang Pariaman? 3 Korban Merupakan Pacar dan Teman
Waduh! Putri Anies Baswedan Terancam Gagal ke Harvard, Wamendikti Stella Christie Ungkap Penyebabnya