Ditugaskan ke Papua: 'Antara Ikhlas Mati dan Dibuang Hidup-Hidup'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Papua, permata di ufuk timur negeri. Dibilang surga, iya. Dibilang ladang konflik, juga tidak keliru.
Ia tempat yang elok buat brosur pariwisata, tapi bikin jantung nyeri bila disebut dalam surat penugasan.
Bagi tentara dan polisi, ditugaskan ke Papua adalah soal nyali. Di markas disebut “pengabdian”, tapi di lapangan itu bisa berarti ikhlas mati.
Betul-betul ikhlas. Bukan ikhlas model kata sambutan di seminar motivasi.
Tapi ikhlas yang berarti: “Kalau saya tidak pulang, tolong rawat anak istri saya.”
Kawan-kawan berseragam loreng tahu persis: Papua bukan sekadar provinsi, tapi semacam titik tak berbalik—point of no return.
Mereka naik pesawat Hercules dengan doa di bibir, dan seringkali pulang dalam peti, diiringi lagu wajib nasional dan isak tangis yang hanya didengar sejenak, sebelum tenggelam oleh bisingnya konten TikTok.
Namun, di kalangan birokrat, penugasan ke Papua punya arti yang lebih subtil tapi tak kalah menyakitkan: hukuman administratif.
Iya, benar. Papua dijadikan momok, ancaman yang disisipkan di balik senyum pejabat.
Contohnya? Silakan buka kembali rekaman Tri Rismaharini, Menteri Sosial yang dikenal keras kepala sekaligus keras suara.
Artikel Terkait
Prabowo Panggil Bahlil, Kepala BIN, hingga Panglima TNI: Pertemuan Penting di Kertanegara Dibongkar
Shin Tae-yong Coret 4 Pemain Timnas Indonesia, Bisakah Mereka Comeback ke Skuad Garuda?
Utang Kereta Cepat yang Mencekik: Bukti Jokowi Abaikan Nasihat Para Ahli?
Pengemudi Pajero Pasang Pelat Palsu dan Sirene Tot Tot Wuk Wuk Akhirnya Ditangkap Polisi