Di suatu kesempatan, ia membentak anak buahnya yang tak becus bekerja—lalu berkata:
“Kalau tidak bisa kerja, saya pindahkan ke Papua!”
Begitu kerasnya kalimat itu sampai gemanya mengalahkan doa pembukaan. Seketika Papua menjadi sinonim dari ‘dibuang hidup-hidup’.
Seolah-olah tanah yang ditempati oleh jutaan manusia itu cuma tempat hukuman bagi PNS malas.
Padahal Papua bukan tanah kutukan. Bukan buangan. Di sana ada rakyat yang ingin dimanusiakan.
Tapi dalam lidah kekuasaan, ia bisa berubah jadi tempat pelarian, tempat ancaman, bahkan tempat pelupaan.
Ini ironis. Sebab di satu sisi, negara mengklaim Papua sebagai bagian sah dan integral dari NKRI.
Tapi di sisi lain, ia diperlakukan bak gudang tua tempat menyimpan pegawai yang dianggap rusak.
Jadi kalau hari ini Anda menerima surat tugas ke Papua, tanyakan pada diri sendiri: apakah Anda sedang dipanggil untuk mengabdi… atau sedang dihukum tanpa sidang?
Dan rakyat Papua? Mereka menonton diam-diam, menyaksikan bagaimana tanah mereka dijadikan panggung drama kekuasaan. Sesekali mungkin mereka bergumam dalam hati:
“Apa salah kami, sampai setiap orang yang tak diinginkan, dikirim ke sini?”
Sayangnya, pejabat di Jakarta terlalu sibuk selfie di acara peresmian, untuk sempat menjawab pertanyaan itu. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur