PDIP Bergabung: Kartel Politik dan Omong Kosong Demokrasi!

- Kamis, 10 Juli 2025 | 12:25 WIB
PDIP Bergabung: Kartel Politik dan Omong Kosong Demokrasi!


Bukan karena cinta. Tapi karena sama-sama tahu: perpecahan justru membuka pintu bagi kekuatan rakyat. Dan itu yang paling mereka takutkan.


Dalam situasi seperti ini, rakyat makin tak punya tempat. Kita bukan lagi pemilik negeri, tapi sekadar penonton. 


Penonton yang diminta membayar tiket mahal lewat pajak yang mencekik. Ironis dan tragisnya, kita tak boleh bersuara.


Hukum jadi panglima? Hanya berlaku kalau lawan politik yang diincar. Proyek digarap ramai-ramai. Hutan digunduli atas nama investasi. 


Tanah rakyat dicaplok dengan dalih pembangunan. SDA dikuraa sampai tuntas. Tapi rakyat tetap hidup dalam kemiskinan struktural. Rakyat terus dimiskinkan.


Sindikat Kartel


Kartel politik ini mirip sindikat. Masing-masing pegang peran. Ada yang jaga Istana. Ada yang atur parlemen. 


Ada yang merawat citra. Ada juga yang mengunci media. Di belakangnya, para konglomerat menunggu hasil panen. 


Setiap keputusan besar, bisa dipastikan tidak dibuat di ruang publik. 


Dari revisi undang-undang, pembentukan ibu kota baru, sampai kebijakan tambang ditetapkan di ruang-ruang gelap perselingkuhan penguasa dan pengusaha.


Demokrasi seperti ini hanya menyisakan prosedur. Pilpres digelar. Parpol kampanye. Rakyat datang ke TPS. 


Tapi setelah itu, semua keputusan kembali ke tangan elite. Siapa duduk di mana. Siapa pegang kementerian apa. 


Siapa dapat konsesi apa dan dimana saja. Semua ditentukan lewat lobi dan barter. Bukan lewat suara rakyat.


Kalau rakyat protes? Tinggal kirim buzzer. Viralkan isu baru. Tuduh makar. 


Tangkap satu dua orang sebagai pelajaran sekaligus pesan buat yang lain. Bungkam sisanya dengan bansos.


Koalisi besar, serakah sangat besar


Pertanyaannya, sampai kapan rakyat bertahan dalam ilusi demokrasi transaksional dan kriminal ini? Bangsa ini pernah besar karena perlawanan. 


Karena semangat berdiri di kaki sendiri. Karena darah juang. Tapi sekarang, negeri ini seperti disulap menjadi perusahaan terbuka. 


Ada komisaris, ada pemegang saham mayoritas, ada pekerja. Sayangnya, yang paling banyak justru yang digaji murah dan tak punya suara.


Koalisi besar yang sedang disusun ini sama sekali bukan untuk kebaikan rakyat. 


Tapi untuk memperpanjang usia kekuasaan. Untuk melanggengkan pengaruh. Untuk menutup celah perubahan.


Maka, tugas kita bukan sekadar mengamati. Tapi melawan lupa. 


Melawan diam. Dan terus menyuarakan bahwa negeri ini bukan milik segelintir elite, tapi milik seluruh rakyat Indonesia.


Kalau kita diam, jangan salahkan sejarah jika kelak menulis kita sebagai generasi yang menyerah. Bahkan sebelum bertarung. ***


Jakarta, 9 Juli 2025

Halaman:

Komentar