Dalam beberapa hari terakhir, linimasa media sosial Indonesia, khususnya Instagram, ramai dipenuhi foto profil bernuansa pink dan hijau.
Fenomena ini muncul usai aksi demonstrasi 28 Agustus 2025, ketika warganet menjadikan warna sebagai simbol solidaritas atas 17 8 Tuntutan Rakyat.
Bukan sekadar tren, warna kini menjelma identitas kolektif di ruang digital maupun aksi massa.
Pakar Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Fajar Junaedi menyebut visual memainkan peran penting dalam mengikat solidaritas gerakan sosial.
“Biru resistensi dapat ditelusuri dari visual peringatan darurat dengan latar biru tua dan garuda putih. Dalam banyak gerakan rakyat, biru kini digunakan sebagai simbol perlawanan sekaligus harapan. Di Indonesia, istilah Resistance Blue merepresentasikan identitas bagi mereka yang menyuarakan keadilan dan menentang ketidakadilan,” jelas Fajar, lewat keterangan resminya dikutip redaksi, Kamis, 4 September 2025.
Selain biru, warna pink juga menjadi ikon perlawanan baru. Awalnya, pink lekat dengan kesan lembut dan stereotip gender. Namun, viralnya foto seorang ibu rumah tangga berhijab pink di tengah demonstrasi mengubah makna itu.
“Warna pink yang semula identik dengan kelembutan dan stereotip gender, justru menjadi simbol kekuatan dan keberanian. Warganet bahkan menggunakan latar pink dalam foto profil sebagai bentuk solidaritas,” tambahnya.
Tak berhenti di situ, tragedi seorang pengemudi ojek online (ojol) yang tewas terlindas kendaraan taktis juga melahirkan simbol Hijau Pahlawan (Hero Green). Warna hijau dipandang sebagai representasi semangat dan pengorbanan seorang pahlawan.
“Ketiga warna ini—Resistance Blue, Brave Pink, dan Hero Green—membangun narasi visual yang kuat dalam kampanye digital. Generasi Z dan milenial secara sadar maupun karena FOMO menggunakannya sebagai identitas kolektif di dunia maya,” terang Fajar.
Ia juga menyinggung hasil riset Håkan Johansson dan Gabriella Scaramuzzino dalam New Media and Society (2022), yang membuktikan media sosial bisa menggerakkan netroots secara cepat dan masif.
Namun, Fajar memberi catatan, melimpahnya energi digital ini butuh konsistensi agar gerakan tetap relevan.
“Fenomena buzzer dan influencer justru menjadi antitesis dari gerakan warganet. Karena itu, pemaknaan simbol dan visual warna ini menunjukkan adanya daya resistensi organik yang tumbuh di masyarakat,” pungkasnya.
Sumber: rmol
Foto: Ilustrasi. (Foto: Web Muhammadiyah)
Artikel Terkait
Kudeta Yang Gagal: Geng Solo Jokowi vs Prabowo Subianto
GMNI: Pengesahan RUU Perampasan Aset Solusi Tak Naikkan Pajak
Helikopter yang Hilang Kontak Ditemukan di Kalsel
BRUTAL! Pria Ini Jadi Korban Salah Sasaran Polisi Saat Demo Bandung: Niat Cuman Lewat, Malah Digebuk