'Jokowi Mulai di Tinggalkan Para Pendukungnya?'
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, menilai bahwa perjalanan politik Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, kini memasuki babak yang penuh ujian.
Setelah tidak lagi menjabat, Jokowi terlihat mulai ditinggalkan oleh orang-orang dekatnya.
Para elite politik yang dahulu begitu loyal kini justru berbondong-bondong mendekat ke Presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Mereka yang sebelumnya dikenal sebagai "si paling Jokowi", kini berubah haluan menjadi "si paling Prabowo". Jokowi pun tampak berdiri sendirian menghadapi kerasnya arus politik.
Yunarto melihat kondisi ini sebagai bentuk miskalkulasi politik Jokowi.
Bukan sekadar soal perpecahan dengan PDIP, tetapi kesalahan terbesarnya adalah melupakan pendukung sejati yang sudah bersama sejak awal.
Mereka adalah orang-orang yang mendukung tanpa banyak menuntut jabatan atau proyek, hanya ingin melihat Jokowi bekerja baik.
Namun setelah periode kedua yang penuh kuasa pada 2019--2024, Jokowi lebih mengandalkan lingkaran baru.
Ironisnya, lingkaran inilah yang kini meninggalkan dirinya ketika kekuasaan usai.
Dalam situasi ini, beban berat juga menimpa putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka.
Yunarto menilai, Jokowi masih terlalu sering turun tangan membela Gibran di hadapan publik, termasuk ketika menanggapi isu pemakzulan.
Hal tersebut justru menimbulkan kesan bahwa Gibran belum cukup mandiri secara politik dan masih harus dimomong oleh sang ayah.
Keadaan ini membuat publik merasa kasihan pada Gibran, namun sekaligus menimbulkan rasa kecewa pada Jokowi, karena masa pensiunnya yang seharusnya dikenang dengan warisan besar justru tersandera oleh isu anaknya.
Lebih jauh, Yunarto menekankan bahwa PSI kini menjadi satu-satunya sandaran politik Jokowi.
Pernyataan Jokowi yang mengisyaratkan akan berlabuh ke PSI menunjukkan betapa sempitnya pilihan politik yang tersedia.
Partai-partai besar sudah kembali sibuk dengan urusannya masing-masing, berusaha mengambil hati Prabowo, bukan lagi Jokowi.
PSI, yang sejak awal memang dikenal dekat dengan Jokowi, menjadi tempat terakhir yang bisa ia gunakan sebagai kendaraan politik untuk mempertahankan pengaruh sekaligus melindungi posisi Gibran.
Nada kecewa juga jelas terdengar dari Yunarto.
Ia mengaku sedih melihat seorang presiden dengan capaian besar dalam pembangunan infrastruktur, deregulasi, dan reformasi birokrasi, pada akhirnya justru terjebak dalam politik praktis yang sempit.
Alih-alih dikenang sebagai negarawan, Jokowi kini lebih sering diberitakan karena upayanya membela anaknya dan langkah-langkah politiknya yang semakin terbatas.
Yunarto menyalahkan "orang-orang di sekeliling Jokowi" yang dulu mendorongnya mengambil langkah berisiko, namun kini pergi meninggalkannya sendirian.
Kesimpulan
Pandangan Yunarto Wijaya memperlihatkan gambaran getir dari perjalanan politik Jokowi setelah turun dari kursi kepresidenan.
Ia ditinggalkan oleh orang-orang dekatnya, salah mengambil kalkulasi dalam memilih lingkaran dukungan, terbebani dengan keharusan membela anaknya, serta terpaksa berlabuh ke PSI sebagai satu-satunya sandaran politik.
Rasa kecewa yang diungkap Yunarto tidak hanya ditujukan kepada Jokowi sendiri, tetapi juga kepada lingkaran pendukung yang kini berpaling.
Dengan demikian, masa purna tugas Jokowi yang seharusnya menjadi momen untuk menikmati status sebagai negarawan justru berubah menjadi periode penuh beban dan kesepian politik.
Ia masih ingin menunjukkan eksistensinya, namun realita politik memperlihatkan bahwa pengaruhnya semakin menyempit.
Warisan besar yang dibangun selama 10 tahun berkuasa kini berisiko redup, tergantikan oleh narasi tentang politik praktis dan upaya membela keluarga. ***
Artikel Terkait
Harta Kekayaan Menkop Ferry Juliantono Capai Rp 52 Miliar, Berikut Rinciannya
Mahfud MD Terkejut dengan Pencopotan BG dalam Reshuffle Kabinet Prabowo
Polda Metro Jaya Tekankan Penetapan Tersangka Delpedro Sesuai Fakta dan Alat Bukti
Instagram Anak Menkeu Purbaya Hilang usai Singgung Sri Mulyani Lengser dari Kursi Menteri