"Kebijakan ini akan menyulitkan masyarakat dalam mendapatkan bahan bakar Pertalite dan minyak goreng, selain itu juga akan menimbulkan permasalahan distribusi yang tidak seimbang dengan pemintaan masyarakat yang tinggi di titik-titik tertentu," kata Handi, Rabu (29/6).
Ia juga menyayangkan langkah pemerintah yang dianggap kurang pas. Sebab, bukannya memperbaiki rantai distribusi dan pastikan pasokan lancar, sesuai kebutuhan di setiap daerah dengan harga seusai Harga Eceran Tertinggi (HET), pemerintah malah membuat kebijakan kontroversial tersebut.
Terlebih lagi, kata Handi, pasokan minyak goreng di masyarakat kini cukup melimpah. Jadi Pemerintah tidak punya alasan untuk menerapkan kebijakan baru bagi masyarakat yang ingin membeli minyak goreng, yang justru malah mempersulit. Begitupula halnya dengan pembelian pertalite, yang berpotensi timbulkan masalah baru.
"Pemanfaatan aplikasi harus tergantung kondisi jaringan internet. Sementara, sinyal internet di daerah cenderung terbatas. Selain itu tidak semua orang memiliki perangkat handphone. Bahkan dikhawatirkan tidak semua konsumen Pertalite itu menggunakan gadget, ini juga akan menjadi masalah baru," ujar Handi. “Bagi masyarakat yang sudah berumur dan pendidikan rendah bisa dipastikan akan menghadapi kesulitan ketika akan membeli bahan bakar Pertalite. Selain itu, kesiapan petugas SPBU menjalankannya di lapangan karena dianggap menyulitkan dalam bertransaksi."
Pengajar Fakultas Ekonomi dan bisnis Universitas Paramadina itu menyebut, pemerintah haruslah memperbaiki tata kelola minyak goreng agar lebih transparan, efektif dan dapat diawasi. Bersihkan pula para mafia yang selama ini menikmati keuntungan dari kerugian masyarakat banyak.
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur