Nelayan Menjerit! Akses Solar Subsidi Sulit, Aturan Baru Bahlil Bikin Tambah Susah?

- Jumat, 14 Februari 2025 | 13:55 WIB
Nelayan Menjerit! Akses Solar Subsidi Sulit, Aturan Baru Bahlil Bikin Tambah Susah?

POLHUKAM.ID - BELUM kelar polemik penataan ulang distribusi gas LPG 3 kilogram bersubsidi, kini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia akan kembali membuat kebijakan baru soal bahan bakar minyak. 


Kali ini, Bahlil bakal mengatur ulang pendistribusian solar bersubsidi. 


Rencana itu disampaikan Bahlil dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Golkar 2025 di Kantor DPP Golkar, Jakarta Barat, Sabtu, 8 Februari 2025.


Menanggapi rencana kebijakan tersebut, Sekjen DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Iing Rohimin meminta Kementerian ESDM mengkaji lagi secara matang. 


Jangan sampai kebijakan tersebut masyarakat kecil kesulitan mendapatkan solar, seperti masalah kelangkaan gas elpiji 3 kilogram lalu.


Ia meminta Kementerian ESDM melibatkan perwakilan nelayan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, kementerian/lembaga terkait dalam membahas kebijakan penertiban ulang distribusi solar subsidi.


"Seharusnya dilakukan kajian mendalam terlebih dahulu. Persoalan mendasar yang terjadi di masyarakat itu seperti apa," kata Iing, Kamis (13/2/2025).


Dia mengemukakan persoalan distribusi solar subsidi di kalangan para nelayan. 


Salah satu di antaranya, stasiun pengisian bahan bakar umum nelayan (SPBUN) di perkampungan nelayan belum merata. 


SPBUN masih sangat terbatas di Indonesia, sampai saat ini jumlahnya cuma ada 404 stasiun. 


Persoalan sarana dan prasarana pendistribusian inilah yang seharusnya segera diselesaikan oleh Bahlil.


Persoalan lainnya, kebocoran solar bersubsidi. Menteri Bahlil juga pernah menyinggung masalah ini. 


Pada November 2024, dia menyebut kebocoran BBM dan listrik nilainya mencapai Rp100 triliun atau 20-30 persen dari yang disubsidi.


Masalah ini juga yang terjadi di kalangan nelayan. Solar subsidi yang harusnya ditujukan kepada para nelayan kecil, justru disalahgunakan untuk industri atau kapal-kapal besar.


Kemudian kouta solar bersubsidi bagi para nelayan di lapangan masih kurang. 


Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi atau BPH Migas mengklaim mengalokasikan 2,2 juta kiloliter solar subsidi bagi para nelayan melalui SPBUN pada 2024. Namun, yang terealisasi 600 ribu kiloliter atau 27,2 persen.


"Ketika kami konfirmasi kepada BPH Migas, mereka mengklaim bahwa kuota itu terpenuhi. Tapi lagi-lagi yang terjadi di bawah itu justru tidak banyak terserap, kami nelayan kesusahan (mendapatkan solar)," ungkap Iing.


Penelitian Koalisi untuk Ketahanan Usaha Perikanan Nelayan (KUSUKA) dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada 2022 menyebutkan bahwa 90 persen nelayan di Indonesia merupakan nelayan kecil. 


Sebanyak 11,34 persen di antaranya nelayan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sekitar 60-70 persen biaya melaut dihabiskan untuk membeli bahan bakar.


Hasil survei KNTI bersama KUSUKA pada 2020 dan 2021 di 10 provinsi dan 25 kabupaten/kota, menemukan 82,8 persen nelayan kecil tidak memiliki akses terhadap BBM subsidi.


Para nelayan mengalami diskriminasi saat mengakses BBM subsidi lewat persyaratan adminitrasi yang rumit. Mereka harus memiliki surat rekomendasi. 


Untuk mendapat BBM subsidi mereka harus memiliki pas kecil atau izin melaut dan bukti pencatatan kapal (BPKP) yang dikeluarkan pihak pelabuhan.


Iing menjelaskan, persyaratan administrasi itu masih berlaku hingga saat ini. 


Persoalannya, rumah para nelayan berjarak sangat jauh menuju kantor instansi yang menerbitkan izin sehingga semakin menyulitkan para nelayan.


"Terutama di kepulauan. Kami dari pulau ke kantor dinas itu butuh waktu tiga hari tiga malam loh," tutur Iing.


Halaman:

Komentar

Terpopuler