Indonesia kini menghadapi pilihan sulit: menjaga keberlanjutan fiskal atau menghadapi krisis defisit jangka panjang.
Dampak Coretax
Turunnya pendapatan pajak diduga akibat kebijakan Coretax. Sistem administrasi perpajakan baru dari DJP Kementerian Keuangan ini mulai diterapkan 1 Januari 2025.
Alih-alih mempermudah, Coretax justru jadi penghambat pemungutan pajak di awal tahun. Banyak wajib pajak kesulitan mengakses sistem tersebut.
“Kegagalan Coretax bukan sekadar masalah teknis, tapi ancaman bagi keberlanjutan fiskal negara,” kata ekonom Achmad Nur Hidayat.
Nur menyarankan pemerintah segera mengevaluasi Coretax. Audit independen diperlukan untuk mengidentifikasi kelemahan sistem.
Selain itu, pemerintah bisa mengaktifkan kembali sebagian layanan manual agar penerimaan pajak tetap berjalan.
“Modernisasi perpajakan itu penting, tapi harus didukung kesiapan infrastruktur, SDM, dan edukasi yang matang,” tegasnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda sependapat dengan Nur.
Ia menilai kesulitan wajib pajak melaporkan transaksi berakibat hilangnya potensi penerimaan pajak sebesar Rp64 triliun pada Januari 2025.
“Akibatnya transaksi menjadi terhambat. Rasio pajak terhadap PDB tahun 2025 bisa lebih rendah dibandingkan tahun 2024, implikasinya defisit APBN rentan diatas 3 persen dan bisa berpotensi impeachment.” ungkap Huda.
Risiko Penambahan Utang
Defisit awal tahun juga dipicu kebijakan efisiensi anggaran Rp306,6 triliun dalam Inpres No. 1 Tahun 2025.
Efisiensi ini memperlambat belanja pemerintah, salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi.
Huda menilai pemangkasan belanja hampir separuh dari tahun sebelumnya mengurangi perputaran uang di masyarakat. Konsumsi melemah, pertumbuhan ekonomi tertekan.
“Belanja pemerintah turun, proyek infrastruktur tertunda, sektor konstruksi terpukul, PHK meningkat,” ujarnya.
Ia membandingkan Indonesia dengan Argentina dan Vietnam. Argentina memangkas anggaran tapi berhasil meningkatkan penerimaan pajak 11 persen. Vietnam memotong birokrasi untuk menarik investasi.
“Sementara di Indonesia, pemotongan anggaran justru membebani masyarakat bawah dan membuat penerimaan pajak anjlok,” jelasnya.
Jika tidak ada langkah strategis, utang negara bisa makin tak terkendali.
“Januari saja utang naik 43,5 persen dari tahun lalu. Akhir 2025, utang pemerintah bisa tembus Rp10.000 triliun,” kata Huda.
Ia menilai masalah ini dipicu program ambisius pemerintah yang tak diimbangi kenaikan penerimaan pajak.
“Belanja dipotong hingga Rp306 triliun, dividen BUMN dialihkan langsung kepada Danantara, hingga penundaan pengangkatan CPNS merupakan korban dari program ambisius pemerintah. Program tersebut membutuhkan dana dengan jumlah jumbo, namun penerimaan negara sedang cekak.” tandasnya.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur