Tidak ada mandat untuk bernegosiasi dengan investor asing.
“Menteri Transmigrasi tidak bisa bertindak sebagai diplomat atau negosiator investor. Ini menabrak batas fungsi kementerian dan melemahkan posisi warga,” katanya.
Landasan Hukum: HAM dan Hak Atas Tanah Harus Diutamakan
Iskandar menyoroti sejumlah kerangka hukum yang seharusnya dijadikan pijakan, termasuk:
Pasal 28H & 28I UUD 1945: Hak atas tempat tinggal dan larangan penggusuran sewenang-wenang.
UU No. 39/1999 tentang HAM: Menjamin relokasi harus melalui proses konsultasi, kompensasi adil, dan perlindungan hukum.
UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah: Memberi kewenangan daerah melindungi warganya.
UU No. 5/1960 tentang UUPA: Negara wajib mengakui hak masyarakat adat atas tanah turun-temurun.
“Kalau Menteri saja sudah lari ke investor, maka siapa yang berdiri untuk HAM dan hak tanah masyarakat adat?” kritiknya.
Audit Proyek Rempang: Dari Lahan Hingga Uang Negara
Sebagai lembaga pemantau akuntabilitas, IAW mendorong agar proyek Rempang diaudit secara menyeluruh—mulai dari pembebasan lahan, aliran dana, hingga kompensasi warga.
“Presiden Prabowo harus minta audit BPK dan awasi KPK. Dalam 10 tahun terakhir, LHP BPK menunjukkan program transmigrasi penuh inefisiensi dan minim evaluasi hasil,” jelas Iskandar.
Negara untuk Siapa? Rakyat atau Investor
Kritik tajam Iskandar berpuncak pada satu pertanyaan fundamental: Untuk siapa negara ini bekerja?
“Kalau relokasi rakyat dibungkus sebagai transmigrasi demi proyek asing, itu penyelundupan kebijakan. Presiden Prabowo harus anggap ini ancaman serius terhadap keadilan sosial,” pungkasnya.
Sumber: PorosJakarta
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur