“Pemerintah Sontoloyo”: Ketika Aparat Membungkam Kebenaran dan Menista Hukum Demi Lindungi Kebohongan!

- Senin, 02 Juni 2025 | 17:10 WIB
“Pemerintah Sontoloyo”: Ketika Aparat Membungkam Kebenaran dan Menista Hukum Demi Lindungi Kebohongan!


“Pemerintah Sontoloyo”: Ketika Aparat Membungkam Kebenaran dan Menista Hukum Demi Lindungi Kebohongan!


Oleh: Damai Hari Lubis

Pengamat Hukum KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)


Semakin marak pemberitaan dari berbagai media, baik konvensional maupun daring, terkait dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Presiden RI ke-7, Joko Widodo. 


Munculnya desakan publik agar aparat penegak hukum menyelidiki hal ini secara objektif berdasarkan due process of law menjadi hal yang tak terhindarkan, terlebih dengan prinsip netralitas sebagai pilar supremasi hukum.


Salah satu bukti mencolok yang menjadi perhatian publik adalah perbedaan nama dekan Fakultas Kehutanan UGM yang tercantum dalam fotokopi ijazah Jokowi. 


Di situ tertulis nama Achmad Soemitro, padahal menurut catatan sejarah UGM dan konfirmasi keluarga, nama yang benar adalah Prof. Dr. Ir. Achmad Sumitro (tanpa huruf “oe”). 


Aida Greenbury, putri dari almarhum Prof. Sumitro, bahkan memberikan bantahan terbuka atas penggunaan nama yang tidak sesuai tersebut.


Secara logika administrasi, sangat janggal apabila terjadi perbedaan penulisan nama pada dokumen resmi kampus, apalagi UGM adalah institusi pendidikan tinggi negeri dengan sistem pencatatan dokumen yang seharusnya sangat ketat dan akuntabel. 


Apakah bisa dibenarkan sebuah percetakan menghasilkan dua versi nama yang berbeda untuk dokumen resmi institusi? Jelas ini tidak masuk akal. 


Apalagi jika tak ada tanggung jawab atau sanksi dari pihak rektorat terhadap kesalahan tersebut.


Hal serupa juga terlihat dari inkonsistensi pernyataan Jokowi mengenai dosen pembimbing skripsinya. Dalam video viral, Jokowi menyebut Kasmudjo sebagai pembimbing. 


Namun setelah dibantah oleh Kasmudjo sendiri yang menyatakan saat itu ia masih berstatus Asisten Dosen (Asdos), Jokowi mengubah pernyataannya bahwa Kasmudjo adalah pembimbing akademik, bukan pembimbing skripsi. 


Ini menunjukkan inkonsistensi sekaligus menambah daftar panjang kebohongan yang telah diidentifikasi publik terhadap figur presiden ini.


Padahal, pembuktian mengenai siapa dekan, dosen pembimbing, atau status akademik seseorang di sebuah universitas sangatlah mudah ditelusuri melalui arsip Ditjen Dikti (Kemdikbudristek), arsip rektorat, hingga surat keputusan rektor atau dekan. 

Halaman:

Komentar

Terpopuler