Membaca Pikiran Roy Suryo: Imajinasi Pemakzulan Gibran

- Kamis, 12 Juni 2025 | 14:15 WIB
Membaca Pikiran Roy Suryo: Imajinasi Pemakzulan Gibran


Secara politis, skenario pemakzulan Gibran nyaris mustahil. Komposisi DPR hasil Pemilu 2024 menjadikan Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus) menguasai sekitar 470 dari total 580 kursi—alias 81 persen parlemen dikuasai partai-partai pendukung pemerintah. PDIP, satu-satunya partai oposisi formal, berdiri sendirian dengan 110 kursi. 


Artinya, suara minoritas tak akan pernah cukup menggerakkan mesin impeachment, kecuali ada tsunami politik internal yang mengubah konstelasi dari dalam tubuh kekuasaan sendiri.


Tapi dalam politik Indonesia, logika seringkali kalah oleh gelombang. Roy tampaknya sedang menanam benih kesadaran, bukan hanya pada elite, tetapi lebih pada publik. 


Ia tidak sedang menuntut keputusan besok pagi, tetapi ingin menghidupkan kembali apa yang disebutnya sebagai “diskursus perbincangan waras.” 


Dalam era pasca-kebenaran dan budaya pengalihan isu, diskursus waras adalah barang langka. Maka ketika Roy bicara, publik, suka tidak suka, akan menoleh.


Ada satu hal yang layak dicatat dari narasi Roy: ia tidak menyalahkan Gibran secara personal sebagai anak presiden, tetapi menantang peran dan integritasnya sebagai Wakil Presiden yang katanya seharusnya menjunjung tinggi etika publik. 


Di sinilah Roy menyisipkan sindiran kultural: noblesse oblige, bahwa jabatan tinggi menuntut keluhuran, bukan sekadar keabsahan administratif atau perolehan suara. 


Ia menyindir bangsa ini yang terlalu mudah terpukau oleh pencitraan, lupa bahwa kepemimpinan bukan soal gaya, tetapi tanggung jawab moral.


Apakah tulisan Roy akan mengguncang singgasana kekuasaan? Mungkin tidak hari ini, tidak juga besok. 


Tapi sejarah negeri ini sudah terlalu sering membuktikan bahwa suara kecil, ketika dirawat dalam kesabaran dan logika publik, bisa berubah menjadi gelombang besar. 


Roy mungkin bukan pelaut utama dalam badai itu, tapi ia tahu persis arah angin bertiup.


Dan mungkin, justru di sanalah letak pentingnya tulisan ini: bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk mengingatkan. 


Bahwa kekuasaan, seberapapun kuatnya, selalu punya titik retak ketika melupakan satu hal: suara rakyat. ***


Sumber: FusilatNews

Halaman:

Komentar

Terpopuler