BEM UI Gelar Diskusi Panas, Sebut Pimpinan Era Prabowo Kebingungan, Bongkar Sejumlah Carut-Marut Kebijakan!

- Jumat, 15 Agustus 2025 | 13:40 WIB
BEM UI Gelar Diskusi Panas, Sebut Pimpinan Era Prabowo Kebingungan, Bongkar Sejumlah Carut-Marut Kebijakan!




POLHUKAM.ID - Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) menggelar diskusi publik bertajuk "Permasalahan Hukum dan Kebijakan Publik Era Prabowo".


Dalam diskusi yang berlangsung di Teras Toko Kopi Seduh, Jakarta Selatan pada Kamis (14/8/2025) malam itu mengupas tuntas berbagai persoalan di awal masa pemerintahan baru.


Diskusi yang berlangsung hingga larut malam itu menghadirkan sejumlah pembicara kritis, mulai dari Ketua BEM UI Zayyid Sulthan Rahman, Dosen Ilmu Politik UI Reni Suwarso, Fiya, Bangsa Mahardika hingga pakar hukum Bivitri Susanti.


Mereka secara bergantian menyoroti carut-marut kebijakan hingga lemahnya penegakan hukum yang dianggap menjadi corak pemerintahan saat ini.


Kasus Hasto dan Transaksi Politik di Bawah Meja


Salah satu isu yang menjadi sorotan utama adalah polemik kasus korupsi yang menyeret nama Hasto Kristiyanto dan sikap PDI Perjuangan.


Ketua BEM UI, Zayyid Sulthan Rahman, menyebut bahwa dinamika politik di sekitar kasus ini adalah cerminan dari partai politik yang lupa esensinya.


"Partai politik karena terlalu berfokus menjadi electoral vehicle, dia jadi lupa sama esensinya secara demokratis. Jadi sifatnya pertukaran kepentingan, transaksi," ujar Zayyid.


Menurutnya, sikap PDIP bisa jadi merupakan bentuk transaksi politik untuk menjadi partai penyeimbang, bukan lagi oposisi.


Hal ini, kata Zayyid, menunjukkan bagaimana proses politik di Indonesia lebih sering didasarkan pada "dealing-dealing di bawah meja" ketimbang gagasan.


"Yang menarik bagi masyarakat adalah soal bagaimana Hasto menjadi seolah-olah tahanan politik. Substansi soal korupsinya tidak terbahas secara mendalam," sentilnya.


"Saya rasa disitulah keberhasilan pejabat kita menyejahterakan dirinya sendiri dan juga menjaga kekuasaan ini," nkatanya menambahkan.


Bupati Pati Didesak Mundur: Dianggap Pengecut dan Remehkan Demokrasi


Kasus kenaikan PBB di Pati yang memicu kemarahan warga juga tak luput dari pembahasan.


Zayyid dengan tegas menuntut Bupati Pati untuk mundur karena dianggap telah menantang kekuatan masyarakat dan meremehkan demokrasi.


"Secara dua hal bagi saya sudah lengkaplah untuk dia mundur. Pertama dia menantang kekuatan masyarakat, kedua secara substansial pun membuat kebijakan yang menyeleweng," tegas Zayyid.


"Di situlah titik seharusnya pejabat tidak lagi dikatakan seorang pejabat, sudah menjadi seorang pengecut."


Sementara itu, Dosen Ilmu Politik UI, Reni Suwarso, menambahkan bahwa keputusan menaikkan PBB secara drastis seringkali didasari oleh kebutuhan anggaran untuk membayar "utang pemilu" atau biaya modal politik yang telah dikeluarkan.


Gaya 'Heroic Populism' dan Komando Militer di Era Prabowo


Gaya kepemimpinan Presiden Prabowo menjadi topik yang tak kalah panas.


Pakar hukum Bivitri Susanti mengutip istilah "Heroic Populism" dari CSIS untuk menggambarkan pola kebijakan saat ini.


"Jadi populisme tapi tujuannya memang untuk menjadi hero gitu," kata Bivitri, merujuk pada kebijakan yang dibuat tergesa-gesa lalu direvisi langsung dari atas setelah menuai protes.


Zayyid Sulthan Rahman bahkan membuat analogi yang menohok untuk menggambarkan kebijakan populis ini.


"Katakanlah Prabowo ini orang tua, rakyat ini anak-anak. Anak-anaknya teriak lapar, terus Prabowo nanya ‘kalian mau makan apa?’, dan anak-anak ini mau ‘iya kita maunya es krim, kita maunya cokelat’," jelas Zayyid.


"Ketika ada anak-anak yang belajar ‘oh ternyata yang lebih baik itu bukan makan es krim tapi makan nasi’, anak-anak yang ngomong kayak gini, dibilang anak nakal. Direpresi, disingkirkan," lanjutnya.


Sementara itu, Reni Suwarso menilai bahwa berbagai kebijakan ini menunjukkan bahwa pimpinan negara sedang dalam kebingungan.


"Terlihat sekali bahwa pimpinan kita tuh lagi kebingungan. Bingung dia, bagaimana ya menyelesaikan permasalahan yang demikian banyak? Karena tampaknya kaki dan tangannya terikat, terikat dengan masa lalu," ungkap Reni.


Warga Negara Paling Sibuk


Para pembicara sepakat bahwa dalam kondisi politik saat ini, beban untuk mengawal demokrasi justru jatuh ke pundak masyarakat sipil. Bivitri Susanti dengan lantang menyatakan bahwa harapan kini tinggal pada warga.


"Saya bukan meninggikan kita sebagai warga, tapi tinggal kita yang tersisa, guys. Mau ngarepin siapa di DPR? Mau ngarepin siapa di partai politik yang ada?" serunya.


Ia juga berbicara bahwa warga negara Indonesia seolah menjadi yang paling sibuk karena terus-menerus harus bereaksi terhadap kebijakan yang merugikan.


"Kita yang capek. Makanya WNI katanya langsung dapat tiket masuk surga ya? Kita melulu yang kerja. UU TNI, maju. KUHP, harus demo lagi. Kita yang capek," kata dia.


Diskusi publik BEM UI menyoroti keresahan atas arah pemerintahan di era Prabowo yang dinilai belum menunjukkan kepemimpinan yang jelas dan berpihak pada rakyat.


Kebijakan yang berubah-ubah, penegakan hukum yang lemah, serta manuver politik yang sarat kepentingan menjadi sorotan utama.


Di tengah lemahnya peran partai dan parlemen, suara masyarakat sipil justru menjadi garda terdepan dalam menjaga demokrasi. Pesan para pembicara jelas jika elite terus abai, rakyatlah yang akan terus memikul beban.


Sumber: Suara

Komentar