Polhukam.id - Indonesia saat ini terkooptasi oleh partai politik. Praktik bernegara mengindikasikan jika politik hanya boleh melalui parpol yang representasinya ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga menegasi peran yang lain.
Kritik tersebut dilontarkan oleh Pengamat Politik Rocky Gerung dalam acara Dialog Kebangsaan Kelompok DPD di MPR, Kamis (7/7).
“Filosofi bernegara kita kacau. Di politik itu tidak boleh terbagi habis oleh parpol. Karena itu perlu LSM, ada pers, karena itu ada DPD,” tukasnya.
Rocky Gerung yang lama menyandang titel sebagai pengajar filsafat politik dan hukum di Universitas Indonesia menilai, hegemoni satu elemen politik tertentu meminggirkan yang lain sehingga demokrasi menjadi tidak sehat.
Dalam nada menggugat, Rocky mempertanyakan, apakah betul politik sama dengan parpol.
Termasuk dalam suksesi kepemimpinan nasional yang harus disaring dan dijaring hanya melalui parpol. Sementara di saat yang sama, upaya mengoreksi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) terus digagalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan dalil penggugat tidak punya legal standing.
“Kekacauan (berdemokrasi) ini terjadi karena Mahkamah Konstitusi tidak paham tentang fungsi dia sebagai mahkamah,” terang Rocky.
Ia menguraikan, sejarah legal standing muncul untuk mencegah aksi bar-bar di luar koridor konstitusi.
Legal standing dalam Revolusi Prancis diwarnai dengan darah dan pemenggalan kepala raja.
Artikel Terkait
Puan Maharani Bongkar Masalah Utang Whoosh: DPR Akan Usut Tuntas!
Prof Henri Balik Badan Bongkar Rekayasa Gibran Cawapres: Saya Kecewa dengan Jokowi!
Misteri Dewa Luhut di Balik Proyek Whoosh: Rahasia yang Baru Terungkap
Fakta Mengejutkan di Balik Proyek Whoosh: Dugaan Markup Rp 60 Triliun dan Potensi Kerugian Negara