Guru Besar ITS: Kemerdekaan Politik Hanya Mitos saat Ekonomi Bangsa Indonesia Terjajah

- Selasa, 16 Agustus 2022 | 18:00 WIB
Guru Besar ITS: Kemerdekaan Politik Hanya Mitos saat Ekonomi Bangsa Indonesia Terjajah

Bandingkan dengan konsumsi energi perkapita pertahun Eropa dan Jepang sekitar 7kL, sedangkan AS telah mencapai 10kL. Tidak mengherankan jika sejak reformasi, pembangunan pembangkit listrik kita digenjot dengan melibatkan swasta dan membakar BBM dan batubara. Itupun berakhir dengan PLN merugi karena regulasi energinya diatur untuk kepentingan pemilik modal asing.

“Mungkin hutang tidak terlalu bermasalah jika tanpa riba sekaligus produktif. Sejak Nixon shocks 1971, dunia di bawah kepemimpinan AS masuk ke dalam sistem keuangan ribawi full fledged. USDollar menjadi alat tukar utama dunia, namun tidak dipijakkan pada emas. The Federal Reserve bisa mencetak uang USD out of thin air. Semua transaksi global harus berbasis USD. Sementara itu negara-negara merdeka itu mengikuti langkah the Fed untuk mencetak uang kertas mereka masing-masing out of thin air juga. Namun dalam transaksi global negara-negara itu harus menggunakan USD. Akibatnya, selama bertahun tahun, sumberdaya alam kita dikuras habis, sejak tambang hingga kayu dan ikan, dengan dibayar uang kertas yang senilai lebih tinggi sedikit dibanding kertas toilet,” jelasnya.

Nekolimisasi kaffah oleh Barat atas Republik ini terjadi terus hingga hari ini. Namun sejak sepuluh tahun silam, baik China dan Rusia mulai membangun sistem keuangan global alternatif untuk menantang dominasi USDollar. Ini yang menjelaskan kekalahan AS di Afghanistan, dan kemerosotan dominasi Eropa dan AS di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Bahkan Fareed Zakarya sudah meramalkan degradasi dominasi Barat ini dalam A post-American World. Terakhir adalah pengakuan Presiden Perancis Macron saat pidato kemenangannya dalam Pilpres baru baru ini bahwa Barat telah kehilangan imajinasi politik dengan memusuhi Rusia tetangga dekatnya sendiri untuk melayani kepentingan AS nun jauh di seberang Atlantik.

Selain itu, kata Daniel, saat Nadiem Makarim melontarkan kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka sebagai bangsa perlu dengan jernih melakukan muhasabah atas diri kita sendiri. Hampir semua indikator ekonomi kita menunjukkan bahwa kita hanya menjadi bangsa jongos bagi bangsa lain.

“Sistem Pendidikan dibiarkan dikerdilkan menjadi sistem persekolahan massal paksa untuk menyediakan buruh yang cukup terampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan pemilik modal asing. Padahal, sistem pendidikan kita seharusnya merupakan strategi budaya untuk membangun bangsa yang berjiwa merdeka di mana warga muda diberi kesempatan luas untuk belajar merdeka,” pungkas Daniel.

Sumber: suaranasional.com

Halaman:

Komentar

Terpopuler