Di samping itu, Kapolres Indramayu, AKBP M Fahri Siregar mengatakan, pihaknya menerjunkan sebanyak 1.200 personel. Polres Indramayu juga dibantu oleh Korps Brimob Polda Jabar dan para Polres tetangga juga turut dikerahkan untuk mengamankan aksi unjuk rasa.
Berdasarkan deretan fenomena yang menyimpang dan menggelitik akal sehat yang telah dipaparkan di atas sebetulnya, kita pun akan bertanya-tanya “ada apa di balik Ponpes Al Zaytun?”
Jika melihat bagaimana respons aparat yang seolah berpihak bahkan melindungi Ponpes Al Zaytun dari aksi massa, kemudian sanjungan dan tanggapan yang santai dari Jenderal TNI Moeldoko memberi isyarat bahwa ada tangan penguasa di balik semua kejanggalan dan penyimpangan yang terjadi di Ponpes Al Zaytun.
Sejalan dengan kegundahan penulis, hal ini juga diungkap oleh Sekretaris Eksekutif SAS Institute Abi Rekso yang menilai bahwa ada maksud politik dari sejumlah kontroversi Ponpes Al Zaytun. Ia pun menyoroti soal pra kondisi Pemilu 2024 sebagai upaya polarisasi masyarakat dengan menarik-narik isu Islam.
Ia pun mencium adanya operasi operasi intelijen yang bekerja untuk kepentingan Pemilu 2024. Ia menanyakan soal mengapa video kontroversi Ponpes Al Zaytun baru baru ini viral sementara itu sudah sejak lama.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Panji Gumilang mengenai Mazhab Soekarno berkenaan dengan tata cara shalat Ponpes Al Zaytun yang menarik sorotan publik. Menurutnya, itu perlu dikaji bahwa adanya penggiringan opini soal sosok Soekarno itu sendiri. Hal ini pun tidak jauh soal operasi intelijen.
“Produk intelijen itu tidak selalu diciptakan dari BIN (Negara), organisasi intelijen asing atau swasta juga bisa melakukan cipta kondisi itu. Ya, kita tahu Al-Zaytun sendiri adalah produk intelijen dari rezim lama,” ujar Sekretaris Eksekutif SAS Institute.
Bagi penulis, kejadian yang menyangkut Ponpes Al Zaytun menggelikan, terlebih kesesatan yang diajarkan sangat nyata bahkan narasi politik hingga narasi kharismatik ketokohan (Soekarno) itu gamblang seolah merupakan standar baru sebagai cara menjadi nasionalis dengan menyimpang terhadap ajaran agama.
Hal ini menurut istana mungkin saja wajar, bahkan mendukung. Penulis yakin bahwa pernyataan Moeldoko mewakili tanggapan para pejabat istana lainnya.
Lantas mengapa tanggapan mereka seperti itu?
Hal ini tentu saja menyangkut soal kepentingan mereka, bahkan mereka pula yang berada di belakangnya. Jika aparat saja bisa tunduk pada pimpinan Ponpes Al Zaytun, bukankah hal tersebut merupakan hal yang janggal? Terlebih menjelang momentum kontestasi besar perpolitikan bangsa.
Jika kita menyaksikan deretan kejadian ini sebetulnya bukan sekali dua kali polarisasi, black campaign, politisasi hingga prakondisi tak sedikit merugikan hingga menyinggung berbagai pihak terjadi jelang pemilu.
Termasuk kejadian black campaign yang menyangkut Gubernur DKI Jakarta pada 1 Juni 2022 silam dengan mengirimkan sejumlah massa yang mengaku dirinya FPI dan HTI palsu memberikan dukungan pada Anies Baswedan dengan melakukan iring-iringan menggunakan kendaraan bermotor di sekitar Jakarta.
Cipta kondisi yang semacam ini sebetulnya sudah sangat sering terjadi, praktik kotor semakin berjamur menjelang kontestasi demokrasi 5 tahun sekali, baik tingkat provinsi (Pilkada) terlebih nasional yakni pemilu.
Hal ini bukan saja merugikan lawan politik, akan tetapi juga masyarakat yang terhasut, teradu domba hingga akhirnya melahirkan banyak korban.
Inilah faktanya, bahwa dalam sistem demokrasi, intelijen bisa saja dikerahkan demi melangsungkan kepentingan Istana. Hal ini terbukti bukan saja pada dugaan kuat terhadap deretan kontroversi Ponpes Al Zaytun melainkan kejadian lainnya yang juga telah berlalu sebelum pemilu mendatang.
Cipta kondisi ini bukan saja membuat geram berbagai pihak akan tetapi beberapa kejadian menyinggung umat muslim. Selain politisasi Islam yang kerap kali dilakukan oleh politikus menggunakan narasi hingga atribut Islam seperti baju koko, peci hitam, hingga berderma ke pondok pesantren ataupun panti asuhan, upaya cipta kondisi juga seringkali menyangkut soal Islam yang pada akhirnya hanya menyinggung dan menyakiti umat muslim.
Potensi umat muslim sebagai massa terbesar di Indonesia tak bisa dielakkan. Namun fakta ini justru menjadi sasaran empuk bagi mereka para politikus jahat sistem demokrasi. Apa pun caranya untuk meraih kekuasaan dilakukan meskipun itu merugikan umat muslim.
Ironisnya, kita umat muslim tak bisa membela diri di tengah riuh kontestasi politik, meski katanya demokrasi adalah kebebasan berpendapat. Bagi mereka para pengusungnya juga bebas menyakiti dan menyinggung umat muslim demi meraih kekuasaan.
Apakah Ponpes Al Zaytun akan terus menjadi pion politik untuk terus mengadu domba umat, ataukah setelah berbagai penyimpangannya terbongkar Ponpes Al Zaytun akan ramai-ramai dikecam bahkan ditutup oleh pihak yang berwajib?
Wallahu a’lam bi sowab.
*) Mahasiswa Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ
Artikel Terkait
Anwar Usman Bisa Saja Menyesal Karir Hancur Gegara Gibran
VIRAL Beredar Foto MABA Fakultas Kehutanan UGM 1980, Tak Ada Potret Jokowi?
Gibran dan Dua Rekannya Ditangkap Polisi terkait Dugaan Penggelapan Duit Rp 15 Miliar
Kejagung Sita Rupiah-Mata Uang Asing Riza Chalid