PDIP Bergabung: 'Kartel Politik dan Omong Kosong Demokrasi!'
Oleh: Edy Mulyadi
Wartawan Senior
Publik, bisa jadi, abai terhadap gerilya orang-orang Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri. Maklum, perhatian sedang terbetot ke sejumlah isu panas.
Ijazah (palsu) Jokowi yang kena sakit kulit dan pemakzulan Wapres Gibran.
Di balik hingar-bingar tadi, gerakan mematangkan koalisi Bowo-Mega lumayan intens dilakukan.
Pertemuan terbaru antara keduanya terjadi pada Senin, 7 April 2025. Sudah lumayan lama. Tapi sebelum dan sesudahnya pasti terjadi.
Sejatinya yang sedang terjadi bukan sekadar rekonsiliasi politik. Tapi konsolidasi kekuatan. Kartel dalam arti sesungguhnya.
Menyatukan pengaruh, menyamakan agenda. Lalu, membagi-bagi kekuasaan dan pundi-pundi kekuasaan.
Rakyat? Sebentar… Maksudnya: sebentar dulu. Mereka sedang (sangat) sibuk. Rakyat? Nanti kalau sudah sempat dan kalau ingat.
Pertemuan Mega–Prabowo bukan basa-basi. Ini bukan nostalgia 2009. Ini pertemuan dua kutub politik besar untuk menyusun kembali peta kekuasaan pasca-Jokowi.
Menurut laporan Tempo, banyak hal yang dibicarakan. Mulai dari peluang kader PDIP masuk kabinet, hingga penataan ulang relasi kekuasaan nasional.
Bukan tak mungkin, pembentukan poros 2029 pun ikut mengemuka.
Yang menarik, semua itu dibicarakan tanpa merasa perlu melibatkan rakyat. Seolah negeri ini cuma milik segelintir elite.
Seolah konstitusi bisa ditafsir seenaknya. Hukum? Bisa disetel. Media? Bisa dibeli. Lembaga negara?
Bisa diarahkan. Yang penting, kursi tetap aman. Bisnis tetap jalan. Dan semua proyek strategis bercuan tebal terus jatuh ke orang-orang yang sama.
Banyak yang berharap Mega akan jadi kekuatan penyeimbang. Tapi harapan itu mulai pupus.
Ketimbang menantang dominasi Gerindra–Jokowi, PDIP justru terlihat ingin ikut duduk manis di meja makan kekuasaan.
Posisi sebagai oposisi, dinegosiasikan demi peluang masuk kabinet. Padahal oposisi justru sangat dibutuhkan dalam situasi sekarang.
Namun dalam politik Indonesia hari ini, menjaga prinsip sering lumer demi akses ke APBN dan BUMN.
Jokowi disingkirkan? Jangan naif!
Lalu bagaimana dengan Jokowi? Banyak yang menduga dia akan disingkirkan seiring terwujudnya gandeng tangan tadi.
Jangan buru-buru. Jangan naif. Politik Indonesia tak bekerja sesederhana itu.
Ketimbang mendorong satu orang keluar dari gerbong, lebih mudah mengajak semua tetap di dalam. Saling menjaga. Saling menyandera. Saling berbagi peran dan keuntungan.
Apalagi, konon, Jokowi masih pegang banyak kunci. Pengaruh di birokrasi, kekuatan para relawan, hingga dukungan dari para taipan kakap.
Tak gampang digeser begitu saja. Maka, skenario yang lebih mungkin adalah tiga kekuatan ini tetap bersatu.
Artikel Terkait
SBY vs Jokowi: Purbaya Sebut Zaman SBY Rakyat Makmur, Mesin Ekonomi Jokowi Pincang
Dosen UMS Buka Suara Soal Gelar SE dan MM Iriana Jokowi yang Dipermasalahkan
Polisi Makassar Pakai Rubicon Plat Palsu Cuma Ditegur, Kok Bisa Tidak Ditilang?
Istri TNI Diduga Selingkuh, Percakapan Mesra Terbongkar Saat Mandi