Jokowi dan Prabowo: 'Pelaku Kekuasaan Dalam Cengkeraman Korupsi Absolut'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Dalam pentas republik yang sedang kehilangan martabatnya, dua nama besar berdiri sebagai aktor utama: Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Yang satu adalah presiden dua periode yang tak juga puas melepas panggung, dan yang satu lagi adalah prajurit tua yang akhirnya berada di singgasana setelah berkali-kali tersingkir.
Dalam drama ini, kita tidak sedang menyaksikan regenerasi kekuasaan, melainkan konservasi kekuasaan.
Bukan pergantian kepemimpinan, tapi pewarisan kendali. Ini bukan politik demokrasi, ini nepotisme dalam kostum prosedural.
Jokowi, alih-alih mundur dengan terhormat, justru cawe-cawe.
Sebuah istilah Jawa yang terdengar lembut namun maknanya brutal: ikut campur.
Dalam bahasa politik, cawe-cawe adalah upaya halus tapi manipulatif untuk tetap memegang kendali tanpa terlihat memerintah.
Ia tak sekadar memberi restu, tapi juga mengarahkan, menyusun, bahkan mengatur jalan siapa yang boleh menang dan siapa yang tak boleh maju.
Ia menyiapkan segalanya: dari aturan hingga figur.
Ia membajak Mahkamah, melahirkan putra sebagai wakil, dan mendorong Prabowo sebagai penerus—bukan karena yang bersangkutan cemerlang, tetapi karena mudah dikendalikan.
Jokowi tidak mencari pemimpin untuk rakyat, tetapi pelanjut untuk kepentingannya sendiri.
Dan Prabowo? Ia bukan hanya bersedia dipoles, tapi juga rela dirias habis-habisan dengan simbol Jokowi.
Dari narasi hingga tim sukses, semua dijejali aroma istana.
Ia tidak menolak, tidak juga menunjukkan keinginan untuk lepas dari bayang-bayang Jokowi.
Artikel Terkait
Polisi Gerebek Pesta Gay di Surabaya, Ini Kronologi Lengkap yang Berawal dari Laporan Warga
Bocoran Dokumen hingga Pengacara! 4 Kesamaan Mengejutkan Proses Perceraian Andre Taulany dan Baim Wong
Sengkarut Utang Whoosh: Alasan Jokowi Tegaskan KCJB Bukan untuk Cari Untung
Satu Kembali, Sisanya Hilang: Daftar Lengkap Perhiasan yang Dicuri dari Louvre Paris