Negara Disandera Seorang Pembohong: Ketika Hukum Tunduk, Keadilan Tumbang!
Oleh: Optic Macca
Di atas panggung kekuasaan, berdiri seorang tokoh yang oleh banyak rakyat sempat disanjung, disematkan gelar “merakyat”, “sederhana”, bahkan “penyelamat.”
Namun hari ini, sejarah tak bisa lagi menutup-nutupi kebenaran: bahwa penguasa yang pernah dielu-elukan itu ternyata adalah pembohong paling konsisten dalam sejarah republik ini.
Jokowi—yang oleh jabatan dan waktu telah diberi amanah memimpin negeri, justru menggunakan kursi kuasa sebagai alat propaganda kebohongan.
Ia bukan lagi sekadar pribadi yang khilaf, tapi telah menjelma menjadi mesin dusta yang merusak sendi-sendi hukum, etika, dan kemanusiaan.
Seratus lebih janji dan ucapan palsunya telah tercatat dan menjadi bukti terbuka bahwa rakyat telah dikhianati, berkali-kali.
Dan kebohongan itu, bukan hanya terjadi saat kampanye—tetapi berlanjut hingga purna jabatan.
Masih terus berdusta, dan bahkan memaksa sistem hukum untuk mengabsahkan kebohongannya.
Bayangkan, betapa menjijikkannya ketika para penegak hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan malah tunduk dan membungkam suara-suara yang menuntut kebenaran.
Para hakim yang menjabat dalam perkara besar seperti keaslian ijazah Jokowi—jika mereka berpaling dari keadilan dan lebih memilih ketakutan atau ketundukan politik—maka langit dan bumi akan menjadi saksi atas kebusukan mereka.
Keputusan seorang hakim tak hanya dicatat di meja pengadilan, tetapi juga dicatat oleh sejarah dan ditimbang oleh Tuhan.
Mengapa laporan atas dugaan ijazah palsu tidak diberi ruang untuk diuji secara adil? Mengapa sang mantan presiden justru bisa memenjarakan mereka yang mempertanyakan keabsahan dokumen akademiknya? Karena hukum telah dibajak.
Penegakan hukum di republik ini tak lebih dari alat kekuasaan, dan kekuasaan itu kini menjadi wajah kriminal politik yang telanjang.
Lebih kejam lagi, ketidakberesan ini bukan hanya dinikmati sendiri oleh sang penguasa lama.
Ia mewariskan virusnya kepada generasi pemegang kuasa selanjutnya.
Residunya menyebar—para pemimpin setelahnya meniru strategi dusta, menormalisasi penindasan atas nama “stabilitas”, dan terus memanipulasi hukum demi menjaga warisan kejahatan itu tetap hidup.
Bangsa ini berada di tepi kehancuran moral.
Ketika rakyat lebih lantang berteriak “Bebaskan Palestina” namun diam terhadap penindasan di dalam negerinya sendiri, ketika para intelektual menjadi penakut dan media kehilangan nyali—di sanalah titik nadir kemunduran kita.
Negeri ini kini disandera seorang pembohong besar, yang oleh sejarah seharusnya sudah diadili, bukan dimuliakan.
Jangan harap ada perbaikan jika rakyat masih tunduk pada rasa takut, jika hakim-hakim tak lagi memiliki nurani, dan jika bangsa ini terus tertidur di bawah nyanyian manis propaganda.
Bangun, bung! Waktu tidak akan menunggu kita. Hari sudah senja.
Jangan biarkan malam menyelimuti negeri ini selamanya karena kita terlalu pengecut untuk menegakkan kebenaran terhadap satu orang penipu.
Artikel Terkait
Jakarta Lumpuh! Ribuan Buruh dan Guru Madrasah Swasta Serbu Istana & DPR, Ini 5 Tuntutan yang Bikin Pemerintah Kelabakan
Viral! Oknum Brimob Catcalling di Trotoar, Langsung Dihajar Propam
Viral Gaya Hidup Mahasiswi UNS Penerima KIP: Ditemukan Dugem, Circle Hedon, tapi ke Kampus Jalan Kaki, Ini Fakta di Baliknya!
Deddy Corbuzier Resmi Diceraikan Sabrina: Terkadang Cinta Tak Cukup