Sama-Sama Kader Gerindra Terlibat Korupsi, Nistra Yohan Aman Namun Noel Masuk Penjara, Kok Bisa?

- Sabtu, 23 Agustus 2025 | 14:00 WIB
Sama-Sama Kader Gerindra Terlibat Korupsi, Nistra Yohan Aman Namun Noel Masuk Penjara, Kok Bisa?


Sama-Sama Kader Gerindra Terlibat Korupsi, Nistra Yohan Aman Namun Noel Masuk Penjara, Kok Bisa?


Oleh: Muslim Arbi

Pengamat Hukum dan Politik


Dalam hitungan hari, publik dikejutkan oleh dua kabar yang sama-sama melibatkan kader Gerindra, tetapi berakhir dengan nasib berbeda.


Di satu sisi, Immanuel Ebenezer alias Noel, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, ditangkap melalui operasi tangkap tangan KPK, ditetapkan sebagai tersangka, lalu ditahan dan segera diberhentikan Presiden Prabowo dari jabatannya.


Di sisi lain, Nistra Yohan, nama yang muncul dalam persidangan kasus BTS 4G BAKTI sebagai penerima aliran dana hingga Rp70 miliar untuk jejaring Komisi I, hingga kini status hukumnya tak jelas. 


Pemanggilan berlarut, kehadirannya dipertanyakan, bahkan keberadaannya kerap diberitakan tidak pasti.


Kontras inilah yang membangun persepsi publik tentang adanya standar ganda dalam penegakan hukum.


Langkah terhadap Noel berjalan cepat dan tegas. KPK menemukan bukti langsung dalam OTT, menetapkannya tersangka, lalu Presiden segera memberhentikan dari kabinet. Dari sisi hukum tata negara, tindakan ini memang wajar dan menunjukkan disiplin birokrasi.


Namun, perbandingan otomatis muncul: mengapa Noel yang jelas-jelas kader partai langsung “disikat” dan masuk bui, sementara Nistra yang disebut-sebut menerima dana jumbo justru tak terdengar kabar hukumnya? Publik wajar mempertanyakan: apa bedanya?


Dari kacamata prosedural, jawabannya bisa sederhana:


1. KPK bekerja dengan OTT—bukti segar, uang tunai, komunikasi langsung, sehingga proses hukum cepat dan langsung mengikat tersangka.


2. Kejaksaan Agung yang menangani BTS bekerja pada kasus yang kompleks: jejaring pelaku luas, aliran dana berlapis, saksi dan dokumen butuh sinkronisasi. Klaim Rp70 miliar terhadap Nistra muncul dari keterangan persidangan, bukan tangkap tangan, sehingga butuh verifikasi tambahan.


Perbedaan mesin ini menjelaskan tempo berbeda. Tapi, penjelasan prosedural tak cukup jika komunikasi publik minim. 


Kejagung harus menjelaskan status Nistra secara transparan, agar publik tidak menganggap ada perlindungan politik.


Dua narasi politik berkembang di masyarakat:


1. Noel dianggap “orang Jokowi” yang harus disingkirkan dari pemerintahan Prabowo.


2. Noel disebut “bermain sendiri,” tidak berbagi keuntungan, sehingga dibiarkan jatuh.


Dua-duanya spekulatif. Faktanya: Noel tertangkap OTT KPK dengan bukti kuat, sementara Presiden hanya merespons prosedur dengan pemberhentian. Tidak ada data resmi yang menyebut motif politik tersebut.


Namun, karena kasus Nistra tak kunjung jelas, narasi spekulatif makin kuat. Publik melihat: Noel diproses cepat, Nistra aman.


Bagi Partai Gerindra, ini adalah ujian besar. Apakah partai akan membiarkan publik melihat ada standar ganda antar kader? 


Atau justru menegakkan disiplin etik internal: siapa pun kader yang berurusan dengan hukum harus diproses dan ditindak secara setara?


Bagi pemerintah, pemberhentian Noel adalah langkah awal. 


Namun tidak cukup berhenti di situ. Yang dibutuhkan adalah pola konsistensi: transparansi di semua kasus, tak hanya satu.


Bagi DPR, khususnya Komisi I, munculnya nama tenaga ahli di pusaran korupsi BTS harus menjadi alarm. 


Parlemen seharusnya menjalankan fungsi etik dan pengawasan internal—bukan menunggu kasus tenggelam.


Agar republik ini tidak terjebak pada persepsi “dua standar,” ada beberapa agenda penting:


1. Transparansi Status Kasus. Kejagung harus menjelaskan posisi hukum Nistra secara terbuka, apakah masih saksi, sudah tersangka potensial, atau masih dalam penguatan bukti.


2. Koordinasi KPK–Kejagung. Perkara BTS menyangkut uang negara yang sangat besar, koordinasi lintas lembaga akan mempercepat follow the money.


3. Disiplin Partai. Gerindra perlu menunjukkan standar etik yang sama bagi semua kader, baik pejabat maupun staf orbit DPR.


4. Reformasi Sistem. Kemenaker harus membersihkan skema sertifikasi K3 dari potensi rente, sementara sektor digital harus diaudit untuk mencegah kasus BTS terulang.


Pemerintahan Prabowo telah memberi sinyal tegas dengan pemberhentian Noel. Tetapi sinyal hanya bermakna jika diikuti pola konsistensi. 


Publik menunggu: apakah hukum akan berlaku setara bagi Noel maupun Nistra, ataukah ada yang terus “aman” karena posisi dan kedekatan?


Pada akhirnya, republik ini tidak butuh kambing hitam atau korban politik. Yang dibutuhkan adalah kepastian proses hukum yang adil, transparan, dan setara untuk semua. ***


Jadi Sorotan! Menpora Dito dan Nistra Yohan 'Lolos' dari Korupsi BTS Kominfo?




POLHUKAM.ID - Menteri Pemuda dan Olahraga Ario Bimo Nandito Ariotedjo alias Dito Ariotedjo dan Nistra Yohan lolos dari jeratan hukum kasus dugaan korupsi proyek pengadaan menara Base Transceiver Station (BTS) 4G Kemenkominfo yang menyeret Johnny G Plae dan gerombolannya?


Sepanjang tahun 2023 silam, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan 16 tersangka dalam kasus ini, di antaranya eks Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate. 


Penetapan tersangka dilakukan Kejagung pertama kalinya pada awal Januari 2023.  


Saat itu, tiga tersangka yang ditetapkan yakni eks Direktur Utama Bakti Kemkominfo Anang Achmad Latif (AAL); Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak Simanjuntak (GMS); dan Yohan Suryanto selaku tenaga ahli Human Development (HUDEV) Universitas Indonesia tahun 2020. 


Pada akhir Januari 2023, Kejagung menetapkan Mukti Ali (MA) yang menjabat Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment sebagai tersangka. 


Setelahnya, Irwan Hermawan (IH) selaku Komisaris PT Solitech Media Sinergy sebagai tersangka pada awal Februari. 


Setelah dikembangkan, Kejagung pun menetapkan Johnny Plate yang kala itu menjabat Menkominfo sebagai tersangka pada pertengahan Mei. 


Johnny menjadi tersangka karena menjadi pemegang jabatan menteri dan pengguna anggaran. Dia juga diduga memperkaya diri sendiri dengan menerima aliran dana dari proyek pembangunan BTS 4G. 


Di bulan yang sama, Direktur Utama PT Multimedia Berdikari Sejahtera Windi Purnama ditetapkan sebagai tersangka pada 23 Mei 2023. 


Bulan Juni, Kejagung menetapkan Ketua Komite Tetap Energi Terbarukan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sekaligus Direktur Utama PT Basis Utama Prima, Muhammad Yusrizki diumumkan sebagai tersangka. 


Tiga bulan setelahnya, di September, sebanyak empat tersangka baru ditetapkan. 


Mereka adalah Direktur Utama PT Sansaine Exindo, Jemmy Sutjiawan (JS); Elvano Hatorangan (EH) selaku pejabat pembuat komitmen proyek BTS 4G di Kominfo. 


Kemudian, Muhammad Feriandi Mirza (MFM) selaku Kepala Divisi Lastmile atau Backhaul Bakti Kominfo; dan Walbertus Natalius Wisang (WNW), tenaga ahli Kominfo. 


Pada Oktober, Komisaris Utama PT Laman Tekno Digital Naek Parulian Washington Hutahaean (NPWH) alias Edward Hutahaean (EH) dan Sadikin Rusli selaku pihak swasta ditangkap sebagai tersangka. 


Pada bulan yang sama, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) menetapkan Muhammad Amar Khoerul (MAK) selaku Kepala Human Development Universitas Indonesia sebagai tersangka Terakhir, Kejagung juga menetapkan anggota BPK Achsanul Qosasi sebagai tersangka pada 3 November 2023. 


Kini pemeriksaan saksi di Kejagung sudah tak nyaring lagi terdengar. Apakah penyidikan kasus tersebut sudah disetop atau masih berjalan?


Menyoal Menpora Dito kembali riuh di media sosial. Bahwa mantan Wakapolri Komjen (Purn) Oegroseno dalam postingannya di Instagram baru-baru ini  menampilkan foto pribadinya dengan berseragam lengkap kedinasan Polri. 


Menurut dia Menpora Dito yang diduga menerima Rp 27 miliar dari kasus tersebut sudah memenuhi unsur pidana.


“Kasus korupsi BTS Penerima Uang Hasil kejahatan sebesar 27 Milyar yang diterima Sdr. Dito Ariotedjo yang saat ini menjabat sebagai Menpora RI Tidak diproses kepengadilan. padahal sudah cukup memenuhi Unsur Pasal 33 UU No: 31 Tahun 2009 jo Pasal 480 KUHP. Penadah uang hasil korupsi sama dengan penadah HP curian. Apakah masih ada Equality Before The Law di Indonesia?” tulis Oegroseno, Minggu (1/6/2025).


Menpora Dito Ariotedjo sebelumnya pernah membantah tuduhan tersebut. Hal itu disampaikan politikus Golkar tersebut dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu, 11 Oktober 2023.


Dito menegaskan bahwa dirinya tidak pernah mengetahui siapa Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan seperti yang diberitakan oleh media. 


Hakim Fahzal pun menjelaskan alur pengamanan perkara berdasarkan keterangan dari saksi, yakni Irwan merupakan perantara dari Dirut Bakti Anang Achmad Latif untuk memberikan saweran ke beberapa pihak untuk menutup kasus BTS.


"Jadi, Irwan diperintah oleh Anang, kemudian (diberikan melalui) Galumbang Menak. Galumbang bawa si Resi datang ke tempat saudara. Makanya perlu kami konfirmasi dengan saudara," kata hakim menjelaskan. 


"Jadi, kalau umpamanya saudara membantah, itu hak saudara," tegas Fahzal. 


Dito Ariotedjo kembali membantah seluruh keterangan yang menyebutkan namanya terlibat dalam pengamanan perkara tersebut.  


Ia mengaku hanya bertemu dua kali dengan Galumbang Menak untuk persoalan bisnis.  


"Itu enggak benar itu?" tanya hakim. 


"Tidak benar yang mulia," kata Dito. 


Bagaimana dengan Nistra Yohan?


Keberadaan Nistra Yohan hingga kini masih menjadi misteri padahal keterangannya bisa menguak teka-teki saweran uang yang diduga mengalir ke Komisi I DPR RI. 


Nama Nistra Yohan disebut beberapa kali dalam persidangan kasus korupsi BTS 4G Bakti menerima uang Rp70 miliar untuk Komisi I DPR RI. 


Namun hingga beberapa kali panggilan pemeriksaan di Kejaksaan Agung, staf ahli Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Sugiono ini selalu mangkir. Adapun Sugiono saat ini menjabat sebagai Menteri Luar Negeri.


Dari informasi yang didapatkan Monitorindonesia.com Nistra Yohan memang sudah tidak lagi menyambangi Gedung DPR  lagi. 


Sugiono yang selama ini mempekerjakan Nistra Yohan terus bungkam.


Aliran uang Rp70 miliar ke Nistra Yohan sudah menjadi fakta persidangan sejak September 2023 lalu. 


Nama dan foto Nistra Yohan juga sudah diperlihatkan kepada publik di persidangan melalui kesaksian Windi Purnama pada Oktober lalu.


Sementara pengantaran uang tahap kedua di Hotel Aston Sentul juga diamini oleh saksi lain yaitu Suhepi. 


Koper berisi uang diturunkan dari dalam mobil Windi lalu dipindahkan ke mobil lain yang diduga dikendarai oleh Nistra Yohan.


Kesaksian Nistra Yohan adalah kunci untuk membuka kotak pandora. Penerima uang Rp70 miliar yang diduga mengalir ke DPR RI.


Adapun tim penyidik Jampidsus Kejagung pada beberapa bulan lalu memang mendalami peran 11 orang yang diduga menerima aliran dana miliaran rupiah dalam korupsi proyek BTS 4G Kominfo. 


Total uang untuk menutup penyelidikan kasus korupsi BTS 4G Kominfo itu sebesar Rp243 miliar. Uang itu dikumpulkan oleh salah satu terdakwa Irwan Hermawan dan Windi Purnama.

 

Tim penyidik Jampidsus juga mencari bukti-bukti atau alat bukti lain dari pengakuan Irwan Hermawan saat dihadirkan sebagai saksi mahkota di persidangan perkara korupsi BTS 4G Kominfo. 


"Semua pihak masih dilakukan pendalaman semua. Orang-orang itu belum (ditemukan)," kata Jampidsus Kejagung, Febrie Adriansyah kepada Akurat Banten di Jakarta, Jumat (13/10/2023) lalu.

 

Sementara itu, Direktur Penyidikan pada Jampidsus, Kuntadi mengatakan hal yang sama, bahwa pihaknya masih mendalami pengakuan saksi Irwan Hermawan di persidangan perkara korupsi proyek BTS 4G Kominfo.

 

Menurut dia, kesaksian atau keterangan saksi tersebut baru satu alat bukti, jadi perlu adanya bukti-bukti yang lain. 


Oleh karenanya, keterangan sejumlah saksi di persidangan belum bisa menjerat semua orang  yang sebutkan Irwan Herwaman itu sebagai tersangka. 


"Pokoknya kita masih mendalami, tunggu saja," ucap Kuntadi. 

 

Sebelumnya, Irwan Hermawan mengungkapkan uang sebesar Rp243 miliar diberikan kepada 11 nama untuk menutup penyelidikan kasus korupsi proyek BTS 4G. 

 

Hal tersebut disampaikan Irwan saat menjadi saksi mahkota di Pengadilan Tipikor Jakarta. 


Irwan yang menjabat Komisaris PT Solitech Media Sinergi yang juga sebagai terdakwa itu mengaku adanya aliran dana miliaran rupiah yang dibagikan kepada staf ahli Pimpinan Komisi 1 DPR, pengacara, politikus, pengusaha, dan juga perwakilan di lembaga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 


Benar saja, Anggota BPK Achsanul Qosasi ikut terlibat dalam kasus yang merugikan negara Rp 8 triliun itu.

 

Adapun uang miliaran rupiah diberikan untuk pengamanan dan tutup kasus korupsi proyek BTS 4G Kominfo agar tidak dilanjutkan penyelidikannya oleh Kejagung dan BPK dalam melakukan audit kerugian negara.

 

Sejumlah nama penerima aliran dana tersebut, diantaranya ada nama pengacara Edward Hutahean (tersangka) yang menerima 2 juta USD atau Rp15 miliar, Wawan Rp 30 miliar, Windu Aji Sutanto (tersangka) sebesar Rp40 miliar, Nistra Yohan disebut juga menerima uang Rp70 miliar yang diberikan selama dua kali.

 

Kemudian ada nama Sadikin Rusli (pengusaha-tersangka) yang disebutkan sebagai perwakilan pihak BPK yang menerima uang Rp40 miliar, yang diberikan di parkiran salah satu hotel mewah di Jakarta Pusat. 


Dan staf ahli Menkominfo Johnny Plate, Walbertus Natalius Wisang (tersangka) yang menerima Rp4 miliar.


SumberMonitorIndonesia

Komentar