Belakangan ini ramai di media sosial ajakan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Bahkan, beredar seruan demonstrasi pada 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR Senayan. Isu ini langsung memicu polemik besar di tengah masyarakat.
Kritik terhadap DPR memang bukan hal baru.
Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, merespons isu tersebut dengan keras dan menyebut ajakan membubarkan DPR sebagai tindakan yang tidak masuk akal.
Pernyataan ini memang terkesan kasar, namun secara konstitusional memiliki dasar.
Landasan Konstitusional: DPR Tidak Bisa Dibubarkan Presiden
UUD 1945 hasil amandemen menutup celah pembubaran DPR oleh Presiden.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7C: Presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR.
Prinsip ini lahir dari sistem presidensial yang menempatkan eksekutif dan legislatif sejajar untuk mencegah konsentrasi kekuasaan.
Meski begitu, politik selalu menyimpan ruang kemungkinan. Ungkapan klasik, “politics is the art of the impossible, made possible”, tetap relevan.
Kekecewaan Publik terhadap DPR
Isu pembubaran DPR muncul tidak lepas dari kekecewaan masyarakat. Kritik publik antara lain:
Besarnya gaji dan tunjangan anggota DPR.
- Kebijakan kontroversial seperti revisi UU Pilkada yang dianggap mengakali putusan MK.
- Kasus dugaan korupsi dan gaya hidup mewah anggota DPR.
- DPR dianggap kehilangan empati, misalnya ketika berjoget dalam sidang sementara rakyat menghadapi kesulitan ekonomi.
- Produk legislasi yang tidak berpihak pada rakyat dan lemahnya fungsi pengawasan terhadap pemerintah.
Semua ini seharusnya menjadi bahan introspeksi agar DPR kembali pada jati dirinya sebagai wakil rakyat.
Sejarah Pembubaran DPR di Luar Konstitusi
Sejarah mencatat DPR pernah dibubarkan melalui langkah non-konstitusional.
Pada 1960, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret untuk membubarkan DPR hasil Pemilu 1955. Sementara pada 2001, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sempat mencoba membekukan DPR dan MPR, namun langkah itu justru berakhir dengan pelengserannya.
Dua peristiwa ini membuktikan bahwa pembubaran DPR secara ekstra-konstitusional selalu menimbulkan krisis politik.
Karena itu, reformasi memperkuat posisi DPR agar tidak bisa lagi dibubarkan Presiden.
Jalan Konstitusional: Amandemen dan Pemilu
Secara hukum, cara satu-satunya untuk menghapus DPR adalah melalui amandemen UUD 1945.
Namun, mekanisme ini sangat sulit karena membutuhkan persetujuan MPR, yang sebagian besar anggotanya justru dari DPR.
Alternatif lain adalah boikot total Pemilu oleh rakyat, tetapi skenario ini hampir mustahil terjadi.
Dengan demikian, secara politik dan praktis, upaya membubarkan DPR hampir tidak mungkin dilakukan.
Apakah Revolusi Solusi?
Secara teori, revolusi atau kudeta bisa mengganti seluruh tatanan negara termasuk DPR.
Namun, cara ini jelas berbahaya, tidak sah secara hukum, tidak demokratis, dan berisiko menimbulkan instabilitas politik serta kehancuran ekonomi.
Oleh karena itu, jika publik tidak puas terhadap DPR, solusi terbaik adalah reformasi struktural melalui tekanan publik, advokasi politik, dan mekanisme demokratis.
DPR tidak bisa dibubarkan dalam sistem presidensial Indonesia. Upaya revolusi hanya akan merusak tatanan bangsa.
Jalan terbaik adalah mendorong DPR melakukan introspeksi, memperbaiki citra, menghindari kemewahan dan korupsi, serta berani menggunakan hak konstitusional seperti interpelasi, angket, dan pernyataan pendapat.
Hanya dengan cara demikian DPR dapat kembali dipercaya rakyat dan menjadi pilar demokrasi yang kuat.
Jakarta, Minggu 24 Agustus 2025
Oleh: Sugiyanto (SGY) – Emik
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan POLHUKAM.ID terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi POLHUKAM.ID akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Menkes: Olahraga 30 Menit Tiap Hari sampai Wafat, Insyaallah Gak Bakal Kena Stroke
Dari Panglima Relawan untuk Wong Cilik Menuju Tahanan KPK, Potret Immanuel Pakai Rompi Oranye
Menkes Bilang Kematian Dik Raya Sukabumi Bukan Karena Cacingan, Lalu Apa?
Undang Profesor Zionis, UI Minta Maaf dan Klaim untuk Kepentingan Akademik