Membongkar BLBI dan BCA GATE: 'Kontroversi Privatisasi Bank di Indonesia'
Oleh: Sasmito Hadinagoro
Redaktur Ekonomi Prisma – LP3ES Jakarta (1978–1980)
Luka Lama yang Tak Pernah Sembuh
Krisis moneter 1997–1998 bukan hanya mengguncang fondasi ekonomi Indonesia, tetapi juga membuka bab baru dalam praktik penyelamatan perbankan yang masih menyisakan kontroversi hingga kini.
Dua peristiwa besar skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan penjualan kembali Bank Central Asia (BCA) menjadi simbol luka lama yang sulit disembuhkan.
BCA, bank swasta terbesar saat itu, sempat diambil alih pemerintah melalui BPPN setelah mengalami guncangan hebat.
Proses privatisasi kembali BCA kepada swasta kemudian memunculkan pertanyaan serius: apakah negara benar-benar menyelamatkan kepentingan rakyat, atau justru melepaskan aset strategis dengan harga murah?
Tokoh seperti Kwik Kian Gie, ekonom sekaligus mantan Menko Ekuin, sejak lama menyoroti kejanggalan harga jual BCA dan ketertutupan proses tender.
Kini, aktivis senior Sasmito Hadinagoro kembali menggugat isu ini, menyebutnya sebagai bentuk “pornografi keuangan negara” istilah keras yang menggambarkan eksploitasi terang-terangan terhadap aset bangsa.
Kronologi Singkat BLBI dan BCA Gate
1. BLBI 1997–1998
Saat krisis, BI menggelontorkan dana BLBI senilai lebih dari Rp600 triliun (nilai kini setelah bunga) untuk menopang bank-bank kolaps, termasuk BCA.
Namun, pengelolaan dan akuntabilitasnya kemudian menjadi salah satu skandal keuangan terbesar negeri ini.
2. Pengambilalihan BCA oleh Pemerintah
Karena gagal memenuhi kewajiban, lebih dari 93% saham BCA akhirnya dikuasai negara melalui BPPN.
Pada titik ini, BCA sejatinya sudah menjadi “bank negara de facto”.
3. Privatisasi BCA 2002
Pemerintah melepas saham mayoritas BCA kepada investor asing dan konglomerat nasional, termasuk melalui perusahaan yang dikaitkan dengan grup usaha besar di Indonesia.
Harga penjualan yang relatif rendah, serta proses tender yang dinilai tidak transparan, menjadi titik krusial yang menuai kritik tajam.
Kwik Kian Gie: Harga Murah dan Proses Tidak Transparan
Kwik Kian Gie berulang kali menegaskan bahwa BCA dilepas dengan harga “tidak masuk akal”.
BCA memiliki aset besar, jaringan luas, dan basis nasabah kuat, tetapi dijual dengan nilai jauh di bawah fundamentalnya.
Selain itu, Kwik juga menyoroti rapat-rapat penting penentuan kebijakan yang disebut tidak dilakukan secara formal di forum negara, melainkan di lingkaran politik tertutup.
Hal ini menimbulkan dugaan adanya kolusi antara elite politik dan kelompok pemodal tertentu.
Sasmito Hadinagoro: Menyuarakan Kembali Luka Bangsa
Dalam berbagai kesempatan, Sasmito Hadinagoro lantang menyebut kasus BLBI dan BCA Gate sebagai “pornografi keuangan negara” istilah yang dipakainya untuk menekankan betapa vulgar dan tidak bermoralnya praktik pengelolaan aset bangsa kala itu.
Menurutnya, mega skandal ini bukan hanya soal sejarah, tetapi menyangkut keadilan yang belum tuntas.
Negara kehilangan ribuan triliun rupiah, sementara pihak swasta menuai keuntungan besar dari privatisasi aset yang nilainya terus melambung.
“Kalau bicara keadilan, bangsa ini sedang ditelanjangi. Negara merugi, rakyat terbebani utang, tapi konglomerat justru makin kaya. Ini bukan sekadar skandal, ini pornografi keuangan negara,” tegas Sasmito.
Analisis Investigasi: Pola yang Mencurigakan
Beberapa pola yang muncul dari kasus BLBI dan BCA Gate antara lain:
- Transfer Kekayaan Negara ke Swasta
Dari penguasaan 93% saham, aset BCA beralih ke swasta dengan harga rendah.
Kini BCA menjadi bank terbesar dan paling menguntungkan, namun tidak memberi kontribusi signifikan untuk menutup kerugian BLBI.
- Tender Tidak Transparan
Indikasi kuat menunjukkan proses penjualan tidak dilakukan secara terbuka.
Investor yang masuk terbatas, dengan mekanisme yang lebih mirip lobi politik ketimbang kompetisi sehat.
- Kerugian Negara
Dengan valuasi saat ini, keuntungan investor bisa mencapai ratusan triliun.
Artinya, negara kehilangan potensi besar, sementara beban BLBI tetap ditanggung APBN hingga hari ini.
Pornografi Keuangan Negara: Simbol Krisis Moral
Istilah keras “pornografi keuangan negara” muncul untuk menggambarkan keterbukaan yang vulgar atas praktik ekonomi yang dianggap sarat kolusi.
Menurut Sasmito, rakyat sebagai pemilik kedaulatan ekonomi justru diabaikan.
Baginya, kasus BLBI dan BCA bukan hanya masalah ekonomi, melainkan juga masalah moral bangsa.
Bila dibiarkan, praktik ini menjadi preseden buruk: negara sah menjual aset strategis rakyat dengan harga murah untuk kepentingan segelintir orang.
Penutup: Mendesak Investigasi Ulang
Kasus BLBI dan BCA Gate harus dipandang sebagai luka sejarah yang belum pernah sembuh. Kritik Kwik Kian Gie tentang harga murah dan ketertutupan proses, kini diperkuat oleh suara lantang Sasmito Hadinagoro.
Tuntutannya jelas: lakukan investigasi ulang secara hukum, transparan, dan berpihak pada rakyat.
Jika tidak, bangsa ini akan terus menanggung beban utang, sementara keuntungan besar tetap dikuasai oleh segelintir pihak.
Skandal BLBI dan BCA adalah cermin buram bagaimana negara mengelola aset rakyat. Cermin itu hingga kini masih retak, penuh noda, dan belum pernah benar-benar dibersihkan. ***
Sumber: PorosJakarta
Artikel Terkait
Link Video 7 Menit 11 Detiknya Viral Jadi Incaran, Benarkah Pemeran Jubir Tambang Morowali dan WNA China adalah Andini Permata?
Demo 25 Agustus 2025: Seruan Aksi Besar di DPR RI, Benarkah Akan Terjadi?
Beredar Nama Instagram Wanita Diduga Otak Pelaku Penculikan Pembunuhan Kacab BRI Cempaka Putih
Heboh Penipuan Video Call Gunakan Deepfake Raffi Ahmad, Modus Baru Kuras Rekening