Mens Rea dan Keadilan: 'Menelisik Niat di Balik Kasus Kuota Tambahan Haji 2024'
BEBERAPA hari lalu publik pernah dihebohkan oleh pernyataan ”seloroh” Tom Lembong yang dikutip banyak media. Yaitu, ”karena kasus saya, se-Indonesia tahu apa itu mens rea.”
Meski disampaikan dengan nada humor, pernyataan itu menyinggung salah satu prinsip paling fundamental dalam hukum pidana. Yakni, mens rea (niat atau sikap batin seseorang saat melakukan suatu perbuatan).
Prinsip itu membedakan tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan (intentional), kelalaian (negligence), atau murni kecelakaan (Simester & Sullivan, 2019).
Tulisan ini saya buat untuk bahan diskusi dan edukasi publik agar publik menjadi lebih melek hukum sekaligus sebagai bahan refleksi dan referensi dalam melakukan tindakan yang berkaitan dengan hukum.
MEMAHAMI KONSEP MENS REA
Secara sederhana, mens rea adalah guilty mind (niat jahat) yang menyertai actus reus atau perbuatan melawan hukum (Ashworth, 2016). Dalam hukum pidana modern, pertanggungjawaban pidana menuntut terpenuhinya dua unsur.
Yaitu, actus reus (tindakan nyata yang melanggar hukum) dan mens rea (niat, kesengajaan, atau sikap batin tercela saat melakukan tindakan tersebut).
Konsep itu penting untuk membedakan antara ”pelanggaran yang disengaja” dan ”kesalahan yang tidak disengaja”. Tanpa analisis mens rea, hukum berisiko menjadi kaku dan hanya prosedural, yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan substantif (Fletcher, 2000).
RELEVANSI MENS REA DALAM KEBIJAKAN PUBLIK
Walau berakar pada hukum pidana, mens rea memiliki relevansi dalam kebijakan publik. Kebijakan yang melanggar hukum administrasi bisa saja tidak mengandung niat jahat.
Namun, jika pembuat kebijakan sadar bahwa keputusannya bertentangan dengan hukum dan tetap melakukannya untuk keuntungan tertentu, unsur mens rea terpenuhi (Roberts & Zuckerman, 2010).
Dalam konteks tata kelola pemerintahan, pengujian mens rea pada pembuat kebijakan dapat menjadi alat evaluasi akuntabilitas publik (Peters & Pierre, 2016).
KASUS KUOTA TAMBAHAN HAJI 2024
Terkait kasus tambahan kuota haji sebanyak 20.000 dari Arab Saudi pada musim haji 2024 yang dibagi 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus, yang berbeda dari amanat UU Nomor 8 Tahun 2019 yang menetapkan proporsi 92:8, maka muncul pertanyaan hukum.
Apakah perubahan itu semata kesalahan administratif? Apakah murni diskresi untuk kepentingan pelayanan jamaah? Atau, terdapat niat tertentu yang bertentangan dengan hukum?
Jika ada kesadaran bahwa kebijakan itu melanggar undang-undang dan dilakukan demi keuntungan pihak tertentu, mens rea dapat dikatakan ada. Jika tidak ada niat jahat, secara pidana mens rea tidak terpenuhi walaupun ada actus reus dalam bentuk pelanggaran norma administratif.
DISKRESI MENTERI AGAMA DAN IMPLIKASI HUKUMNYA
Dalam hukum administrasi negara, diskresi adalah kewenangan mengambil keputusan di luar aturan baku untuk kepentingan umum (UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pasal 1 angka 9).
Namun, diskresi harus memenuhi syarat yang meliputi: tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dilakukan untuk kepentingan umum, dan dilaksanakan secara proporsional (Hernowo, 2019).
Kasus kuota tambahan haji 2024 menimbulkan pertanyaan: apakah pembagian kuota cukup diatur melalui surat keputusan (SK) menteri atau seharusnya dituangkan dalam peraturan menteri (permen) yang diundangkan di lembaran negara?
Berdasar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, perubahan substansial terhadap pengaturan yang diatur dalam undang-undang harus dituangkan dalam peraturan perundangan yang setingkat atau di bawahnya sesuai hierarki, yaitu peraturan menteri (permen). Permen harus mendapat pengesahan menteri hukum dan diundangkan dalam berita negara agar berlaku sah (Maria Farida, 2017).
SK menteri, secara hukum, hanya bersifat beschikking atau keputusan konkret individual, bukan norma umum yang mengubah proporsi pembagian kuota.
Karena itu, jika proporsi kuota 92:8 diubah menjadi 50:50, secara teori hukum administrasi, hal itu semestinya diatur dalam permen, bukan dengan SK. Jika dilakukan hanya dengan SK, terdapat risiko ultra vires atau tindakan di luar kewenangan formal (Ridwan HR, 2020).
MENS REA, DISKRESI, DAN GOOD GOVERNANCE DALAM TATA KELOLA HAJI
Prinsip good governance (transparansi, akuntabilitas, supremasi hukum, efektivitas, dan partisipasi) merupakan standar global tata kelola haji (World Bank, 2017).
Diskresi yang selaras dengan prinsip itu dapat mempercepat pelayanan publik, tetapi diskresi yang melanggar hukum dan mengandung niat menyimpang dapat merusak kepercayaan publik (Rosenbloom et al., 2015).
Apa kaitannya dengan mens rea? Secara sederhana, kaitan antara diskresi dan mens rea dapat dirumuskan secara singkat sebagai berikut.
Pertama, diskresi tanpa mens rea jahat: diskresi menteri untuk mengubah pembagian kuota bisa dibenarkan secara moral jika untuk kepentingan jamaah dan sesuai prosedur.
Kedua, diskresi dengan mens rea jahat: diskresi menjadi alat penyalahgunaan wewenang jika ada niat untuk menguntungkan pihak tertentu atau mengabaikan hukum dengan sadar.
Pengabaian prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan dapat menjadi indikasi adanya mens rea dalam bentuk willful disregard terhadap hukum (Hall, 2015).
Kasus ini mengajarkan bahwa penegakan hukum terhadap pejabat publik memerlukan analisis tiga lapis, yaitu unsur formil (actus reus): apakah ada pelanggaran hukum tertulis?
Lalu, unsur materiil (mens rea): apakah ada niat jahat di balik keputusan?
Terakhir, kepatuhan prosedural diskresi: apakah diskresi dijalankan sesuai hierarki dan prosedur peraturan perundang-undangan?
Bagi publik, pemahaman itu mencegah reaksi emosional yang berlebihan. Juga, menghindarkan sikap permisif terhadap penyalahgunaan wewenang. ***
Sumber: Disway
Artikel Terkait
Ratusan Demonstran Masih Bertahan dan Kuasai Kawasan Slipi, Polisi Tak Berani Mendekat
Konten Kreator Ini Sebut IQ Immanuel Ebenezer Jongkok, Kritik Tajam ke Kabinet
Bendera PAN Disabotase Demonstran
Pengusaha Kaltim Rudy Ong Chandra Ditangkap di Surabaya