Presiden Tak Bisa Kendalikan Penuh Intelijen-Polri-Panglima TNI? Pengamat: Pak Prabowo, Berhentilah Mengasuh Geng Solo!

- Rabu, 03 September 2025 | 21:30 WIB
Presiden Tak Bisa Kendalikan Penuh Intelijen-Polri-Panglima TNI? Pengamat: Pak Prabowo, Berhentilah Mengasuh Geng Solo!

Akibat dari “surat perintah” tersebut, menurut Didu, adalah terbentuknya kabinet yang membengkak dari 17 menjadi lebih dari 100 orang karena penggabungan paksa antara susunan kabinet Prabowo dengan keinginan oligarki. 


Yang lebih mencengangkan, PDIP yang sudah menyiapkan empat calon menteri justru dilarang masuk kabinet atas desakan geng SOP. Didu melihat demo 25 Agustus sebagai titik balik. 


“Demo 25 Agustus itu demo yang murni sama sekali. Betul-betul murni,” tegasnya. 


Namun, situasi berubah ketika Prabowo memanggil Kapolri dan Panglima TNI ke Hambalang pasca kerusuhan 28 Agustus.


“Akhirnya timbul semangat teman-teman geng Solo ini: ‘Eh, ternyata pemimpin kami tidak diapa-apain, malah ditugaskan untuk menertibkan,'” kata Didu, merujuk pada dugaan bahwa kedua pejabat tersebut adalah bagian dari jaringan oligarki Solo.


Munculnya Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin memimpin jumpa pers yang didampingi lengkap oleh Kapolri, Panglima TNI, Kepala BIN, dan Menteri Dalam Negeri dinilai Didu sebagai strategi Prabowo untuk mengalihkan kendali dari “geng Solo.”


“Mungkin tujuannya untuk meredakan bahwa sekarang komandan penertiban massa yang saya perintahkan sebelumnya kepada Kapolri dan Panglima TNI, kendalinya diambil oleh Sjafrie Sjamsoeddin,” analisis Didu.


Didu memberikan perspektif mengejutkan tentang fenomena ojek online yang sering dianggap remeh. 


“Dari 7 juta sopir ojol yang aktif full, 50% adalah sarjana yang baru bekas di-PHK. Jadi ini adalah orang-orang kelas menengah yang jatuh menjadi kelas bawah,” ungkapnya.


“Emosi massa sekarang itu adalah emosi kelas menengah jatuh miskin dari kebijakan yang dibuat oleh Joko Widodo selama 10 tahun karena utang besar, pajak macam-macam,” tambah Didu, sambil memperingatkan bahwa gerakan ojol bisa jauh lebih besar daripada kekuatan partai politik mana pun.


Kritik pedas Didu adalah tentang diabaikannya tuntutan ratusan ormas untuk mengganti Kapolri. 


“Ingat pada saat transisi Bung Karno ke Pak Harto, tuntutan pertamanya adalah bubarkan PKI, maka Pak Harto langsung membubarkan. Pak Habibie langsung bebaskan pers, bebaskan partai politik. Nah, ini katupnya tidak dibuka-buka,” kritik Didu.


Didu merekomendasikan langkah-langkah darurat: tinjau kembali anggaran kepolisian yang naik, anggaran Kementerian Pertahanan, bahkan anggaran makanan bergizi gratis 352 triliun. 


“Kalau perlu hidupkan kembali subsidi listrik, subsidi BBM supaya rakyat menyatakan bahwa memang Pak Prabowo kembali memperhatikan rakyat.”


Dengan analogi yang menarik, Didu membandingkan Prabowo dengan pembalap MotoGP Valentino Rossi yang mahir di tikungan terakhir. 


“Pak Prabowo ini sudah masuk di tikungan terakhir, tapi tidak nyuri di tikungan. Kalau Bapak terlambat mengambil gaya Rossi maka Bapak diseleding oleh lawan dan Bapak terjatuh, dan lawan yang akan juara.”


Didu menutup dengan pesan tegas: “Pak Prabowo, kartu pengamannya sederhana: ganti Kapolri, itu langsung timbul harapan. Dan kedua, reshuffle kabinet—tidak usah takut, rakyat bersama.” 


Sumber: JakartaSatu

Halaman:

Komentar