Dari Jalanan ke Gedung KPK: 'Simbol Seruan Menyeret Jokowi dan Keluarganya'
Aksi demonstrasi yang berlangsung di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis, 2 Oktober 2025, bukanlah peristiwa biasa.
Ia mencerminkan sebuah bahasa politik rakyat yang tak bisa lagi dibungkam: bahwa hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, bahkan terhadap mantan presiden dan keluarganya.
Ketika massa mengusung tema “Adili Jokowi dan Koruptor”, yang disuarakan sejatinya bukan sekadar kekecewaan, tetapi sebuah tuntutan konkret: menyeret Jokowi dan keluarganya untuk diperiksa atas berbagai indikasi kasus korupsi yang ramai dibicarakan publik.
Dari proyek infrastruktur raksasa, dugaan konflik kepentingan di lingkaran bisnis, hingga penguatan dinasti politik—semua membentuk gambaran suram tentang warisan kekuasaan yang jauh dari cita-cita reformasi.
Gedung KPK yang selama ini dianggap kehilangan taring, didatangi bukan hanya untuk didemo, tetapi untuk diingatkan kembali: ia lahir dari rahim reformasi, dan tidak boleh berubah menjadi alat legitimasi bagi kejahatan kekuasaan.
Seruan “adili Jokowi” adalah simbol perlawanan terhadap impunitas, sebuah pesan bahwa tidak ada nama yang terlalu besar untuk diseret ke hadapan hukum.
Lebih dari itu, demo kemarin mengirimkan sinyal bahwa rakyat sudah muak dengan politik keluarga.
Gibran Rakabuming yang kini duduk di kursi wakil presiden dianggap bukan lahir dari demokrasi sehat, melainkan hasil manipulasi aturan dan etika.
Bagi banyak orang, ini bukan sekadar masalah politik, tapi juga luka konstitusional: sebuah pengkhianatan terhadap semangat reformasi yang dulu memutus rantai kekuasaan absolut.
Maka, aksi di KPK sesungguhnya adalah simbol perlawanan terhadap dua hal sekaligus: korupsi yang dibiarkan berakar, dan dinasti politik yang dipaksakan.
Menyeret Jokowi dan keluarganya ke hadapan hukum bukan sekadar tentang mencari kambing hitam, melainkan tentang memulihkan wibawa negara hukum, yang hari ini nyaris runtuh di bawah tekanan kepentingan pribadi.
Rakyat yang datang kemarin sadar, jalan panjang menuju keadilan tidak mudah. Tetapi mereka juga tahu, diam berarti tunduk.
Dengan turun ke jalan, suara mereka mengingatkan kita semua bahwa bangsa ini belum sepenuhnya mati rasa.
Pada akhirnya, pertanyaan mendasar yang muncul dari aksi ini sederhana: apakah hukum di negeri ini masih sanggup menyentuh puncak kekuasaan, atau justru hanya berani menjerat rakyat kecil?
Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan masa depan Indonesia—apakah tetap terjebak dalam lingkaran dinasti dan korupsi, atau berani menegakkan keadilan sejati.
Gerakan Adili Jokowi Harus Lebih Agresif dan Masif
Spanduk tangkap dan adili Joko Widodo alias Jokowi kembali terpampang di depan Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis 2 Oktober 2025.
Kritikus politik sekaligus Ketua Umum Partai Negoro, Faizal Assegaf, menanggapi aksi simbolik tersebut dengan dorongan agar konsolidasi gerakan menuntut pengusutan terhadap mantan Presiden Jokowi di KPK semakin digencarkan.
“Konsolidasi gerakan adili Jokowi di KPK harus lebih agresif, berskala besar, dan intensif. Agar menjadi pintu masuk membongkar aneka kejahatan di balik skandal ijazah palsu, kolusi proyek PSN, IKN abal-abal, dan lain-lain,” tegas Faizal lewat akun X miliknya, seperti dikutip redaksi di Jakarta, Jumat, 3 Oktober 2025.
Menurut Faizal, gerakan yang muncul tidak boleh melemah.
Sebaliknya, harus diperluas dengan melibatkan lebih banyak elemen masyarakat sipil untuk menekan penegak hukum bertindak tegas.
“Jangan kendor, terus menggalang solidaritas dan memompa militansi elemen rakyat secara masif,” serunya.
Aksi ini dipandang menjadi simbol perlawanan moral terhadap apa yang disebut sebagai “dosa-dosa” Jokowi.
Para pengunjuk rasa menegaskan, keadilan sejati harus ditegakkan tanpa pandang bulu, siapapun yang diduga terlibat dalam pelanggaran hukum harus berani diadili, termasuk mantan presiden. ***
Artikel Terkait
Profil Brigjen Ade Ary Syam Indradi, Viral iPhone 17 Pro Max di Indonesia Belum Rilis tapi Dia Sudah Punya
Guru Besar NTU Singapura Bongkar Pendidikan Gibran: MDIS Tak Keluarkan Ijazah, Hanya Jalankan Kurikulum Universitas Asing!
Bukan MBG, Keluarga Sebut Bunga Rahmawati Meninggal karena Sakit: Dia Suka Makan Seblak
Soal Tangkap dan Adili Jokowi, Rocky Gerung: Harus Ada Proses, Dimulai di DPR atau Meja Pengadilan