Menanggapi kasus tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) mengimbau kasus kekerasan yang melibatkan pelaku berusia anak atau biasa disebut dengan anak berhadapan dengan hukum, tidak selalu berakhir dengan pemenjaraan. Kemen-PPPA harapkan pada kasus-kasus tertentu dapat diselesaikan dengan pendekatan Keadilan Restoratif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar mengatakan UU SPPA menyatakan Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif (pasal 5).
"Pendekatan keadilan restoratif bukan meniadakan atau menghilangkan keadilan terhadap korban atau kepentingan korban, tetapi untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Tujuannya sebisa mungkin pelaku anak tidak dipenjara," ujar Nahar dalam keterangannya, Senin (6/6/2022).
Untuk mewujudkan Keadilan Restoratif, penyelesaian perkara dapat dilaksanakan diversi, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana sesuai dengan UU SPPPA Pasal 6.
Nahar mengungkapkan untuk perbuatan tertentu yang dilakukan anak dapat diselesaikan secara diversi. Sebab sangat penting anak tidak dipenjara agar tumbuh kembang anak dapat berlangsung dengan baik dan dalam pengasuhan orang tua atau wali. Kondisi yang dapat dilakukan penyelesaian secara diversi hanya dapat dilakukan apabila kasus tersebut memenuhi kondisi tertentu, yaitu tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana (pasal 7).
"KemenPPPA mendorong dan mengimbau terhadap kasus anak yang berhadapan dengan hukum wajib mengupayakan diversi jika memenuhi aspek dan pertimbangan yang ada dalam UU SPPA," kata Nahar.
Adapun, proses diversi juga melalui serangkaian pertimbangan. Dalam hal ini, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim harus mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan (Bapas), dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Menurut Nahar, salah satu kasus yang dapat diselesaikan secara diversi adalah kasus perundungan (bullying) terhadap anak berinsial MZA (16) dengan terduga pelaku anak di Tangerang Selatan.
Kasus tersebut, dari laporan dari Unit Pelaksana Terpadu Daerah Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (UPTD P2TP2A) Kota Tangerang Selatan menyatakan, korban anak MZA mendapatkan perundungan berupa kekerasan fisik oleh delapan terduga pelaku anak lainnya. Kekerasan itu dilakukan pada bagian tangan serta lidahnya disundut menggunakan rokok serta ditusuk-tusuk menggunakan pisau dan obeng.
Dari delapan terduga pelaku anak tersebut, dua orang anak melarikan diri, sedangkan dua orang anak lainnya dipulangkan ke rumah orang tuanya karena masih berusia kurang dari 12 tahun sehingga tidak dapat diproses hukum secara pidana.
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur