Bukan lagi sekadar masalah moral, tapi hukum. Apalagi, dugaan pemalsuan dokumen resmi (seperti ijazah) termasuk pelanggaran berat yang dapat dikenakan sanksi pidana, sesuai pasal 263 KUHP.
Dalam konteks ini, negara semestinya aktif menelusuri, bukan malah pasif membiarkan rakyat terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Lebih jauh, diamnya negara dan enggannya Jokowi memperlihatkan ijazah asli memperkuat satu tafsir penting: bahwa ijazah itu tidak ada.
Atau kalau pun ada, bukan miliknya. Maka dokumen yang selama ini dijadikan dasar administrasi pencalonan patut diduga bukan milik sah.
Dan inilah yang membuat rakyat murka: saat semua lembaga—dari KPU, Kemendikbud, bahkan kampus yang diklaim sebagai almamater—memilih bungkam atau melempar jawaban basa-basi, rakyat justru digiring agar berhenti bertanya.
Padahal, pertanyaannya begitu sederhana: mana ijazahmu, Jokowi?
Demokrasi yang sehat butuh transparansi. Pemimpin yang jujur tak takut membuka masa lalunya.
Tapi hari ini, kita justru menyaksikan absurditas: seorang mantan Presiden yang lebih nyaman dilingkupi misteri daripada menjelaskan fakta.
Negara yang katanya melayani rakyat justru memilih melindungi satu orang dari pertanyaan publik yang sah.
Jika benar ijazah itu tidak ada, maka semua yang dibangun di atasnya adalah kepalsuan.
Dan jika kepalsuan itu dibiarkan, maka sejarah negeri ini ditulis dengan tinta kebohongan.
Jadi, ketika Jokowi berkata, “tidak ada kewajiban memperlihatkan ijazah,” rakyat punya hak untuk balik bertanya:
Apakah karena memang tidak ada yang bisa diperlihatkan?
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Heryanto Tersangka Pembunuh Dina Oktaviani Tampil Baru, Istri Turut Diperiksa Polisi
ANRI Tak Miliki Salinan Ijazah Jokowi, Pengamat: Bisa Kena Sanksi Pidana!
Kereta Cepat Whoosh Jakarta-Bandung Disebut Bom Waktu, Benarkah Bahayakan Negara?
Polisi Militer Viral Potong Jalan, Tabrak Lari Pengendara Lain!