Pasal 71A UU 15/2019 menyatakan bahwa carry over hanya berlaku jika RUU telah memasuki tahap pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), yang tidak terjadi pada periode sebelumnya. Dengan demikian, seharusnya RUU ini harus dibahas dari nol.
Tak hanya itu, draf RUU ini tidak pernah dipublikasikan secara resmi oleh DPR, sehingga publik kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi.
Kritik masyarakat bahkan disalahkan dengan klaim bahwa draf yang beredar berbeda dari yang dibahas.
Pembahasan RUU ini pun dilakukan di hotel dengan pengamanan ketat, semakin membatasi akses publik.
Meski menuai banyak kritik dan cacat prosedur, Komisi I DPR tetap bersikeras melanjutkan pembahasan, padahal masa pembahasan maksimal hanya tiga kali masa sidang.
DPR Hanya Tukang Stempel
Lucius Karus juga menegaskan bahwa rapat dari Januari hingga Maret hanyalah formalitas.
"DPR sekadar tukang stempel. Itu istilah kasarnya. Rapat-rapat legislasi hanya formalitas belaka," tegasnya.
Sejak awal, kekhawatiran bahwa DPR 2024-2029 hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah sudah muncul.
Komposisi DPR yang didominasi Koalisi Indonesia Maju (KIM) menjadi salah satu penyebabnya. Hampir semua fraksi mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran.
Bahkan PDIP, yang bukan bagian dari KIM, tak menunjukkan sikap oposisi yang tegas.
"Fraksi-fraksi DPR ada dalam cengkeraman kepentingan kekuasaan. Mereka tak berdaya untuk menolak," lanjut Karus.
Proses revisi UU TNI yang penuh kejanggalan memunculkan pertanyaan: siapa yang sebenarnya diwakili oleh anggota dewan?
"Kalau rakyat menolak revisi ini, lalu siapa yang mereka wakili?" kata Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro.
Menurutnya, suara masyarakat sipil dianggap angin lalu oleh para legislator.
Agung juga memperingatkan bahwa undang-undang yang dibahas secara problematik hanya akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
"Aturan seperti ini rentan digugat. Bisa judicial review ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Ia mencontohkan UU Cipta Kerja yang dibuat secara kilat dan minim partisipasi publik. Akibatnya, aturan ini berkali-kali digugat ke MK dan memicu gejolak sosial.
"Berkaca dari itu, seharusnya potensi masalah bisa dicegah sejak awal. DPR sebaiknya mengkaji ulang revisi UU TNI sebelum disahkan," tambahnya.
Agung berharap ke depan proses legislasi lebih terbuka.
"Jangan ulangi kesalahan yang sama. Pembahasan undang-undang harus lebih transparan, demokratis, dan berkualitas," pungkasnya.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Setahun Prabowo Memimpin, Geng Solo Harus Dituntaskan!
Listyo Sigit Naikkan Sejumlah Komjen, Prof Ikrar Beber Jurus Penyelamatan Keluarga Jokowi
DPR Kena Prank! Dana Reses Rp702 M Bikin Tak Sedih Tunjangan Rumah Dihapus
Prabowo vs Geng Solo: Momen Penegakan Hukum yang Dinanti Rakyat