IRONI! Korupsi di Wilayah Suci Oleh Mereka Yang Mengaku Paling Suci

- Kamis, 18 September 2025 | 14:35 WIB
IRONI! Korupsi di Wilayah Suci Oleh Mereka Yang Mengaku Paling Suci




POLHUKAM.ID - Korupsi adalah kejahatan biasa. Tetapi ketika ia dilakukan di wilayah yang dianggap suci, oleh orang-orang yang mestinya menjaga kesucian itu, maka ia berubah menjadi kejahatan luar biasa. 


Itulah yang terjadi ketika Kementerian Agama, sebuah institusi yang mestinya berdiri di garda depan moralitas bangsa, justru tercatat dalam sejarah kelam: korupsi pengadaan Al-Qur’an dan penyalahgunaan kuota haji.


Bayangkan, kitab suci yang menjadi pedoman hidup umat Islam, dijadikan alat untuk memperkaya diri melalui permainan tender dan mark up anggaran. 


Proyek mushaf Al-Qur’an yang seharusnya menyebarkan cahaya pengetahuan dan iman, justru dirundung gelapnya nafsu serakah. 


Betapa paradoks: ayat-ayat yang menyeru kejujuran dan amanah tercetak di atas kertas yang lahir dari kebohongan dan pengkhianatan.


Belum selesai ironi itu, kuota haji—yang menjadi harapan jutaan umat Islam untuk menunaikan rukun Islam kelima—diselewengkan. 


Tiket menuju Tanah Suci yang mestinya dikelola dengan penuh tanggung jawab, justru diperlakukan sebagai komoditas politik dan hadiah bagi kerabat. 


Yang paling hina dari praktik ini adalah: keinginan umat menunaikan panggilan Allah dijadikan bahan tawar-menawar, diperdagangkan dalam lingkaran kekuasaan.


Ketika korupsi merambah sektor infrastruktur atau perdagangan, kita memang dirugikan secara material. 


Namun ketika ia mencemari wilayah sakral seperti Al-Qur’an dan ibadah haji, kerugian itu melampaui hitungan rupiah—ia merobek nurani kolektif bangsa. 


Inilah yang bisa disebut “top multi kejahatan”: bukan hanya perampokan uang negara, tetapi juga perampasan nilai, keimanan, dan kepercayaan publik.


Lebih ironis lagi, kejahatan itu dilakukan bukan oleh pegawai rendahan yang tergoda oleh celah sistem, melainkan oleh pucuk pimpinan—orang-orang yang mestinya menjadi teladan. 


Mereka tampil dengan jubah kesucian, berbicara tentang moral dan agama, tetapi di balik itu tangan mereka kotor oleh uang haram. 


Korupsi yang dilakukan oleh yang paling “suci” inilah yang paling berbahaya: karena ia mengajarkan kemunafikan dengan cara yang paling terang-terangan.


Korupsi di Kementerian Agama bukan sekadar soal hukum, melainkan soal krisis spiritual bangsa. 


Bagaimana mungkin rakyat percaya pada negara, jika kitab suci pun dijadikan objek permainan kotor? 


Bagaimana mungkin kita menanamkan nilai kejujuran pada generasi muda, jika pejabat agama justru memamerkan contoh sebaliknya?


Dari sini, publik harus berani menyebut: korupsi di wilayah suci oleh mereka yang mengaku paling suci adalah pengkhianatan paling besar dalam sejarah republik ini. 


Ia bukan hanya kriminalitas, tetapi juga penghinaan terhadap agama, akal sehat, dan martabat bangsa.


KPK: Dibawah Komando Menteri, Semua Pejabat Kemenag Mendapat Bagian dari Skandal Kuota Haji


Kasus dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji 2023–2024 di Kementerian Agama (Kemenag) kembali menegaskan betapa rapuhnya integritas institusi yang semestinya menjadi teladan moral. 


Skandal ini mencoreng nama kementerian yang mestinya mengurus kebutuhan spiritual umat, bukan justru menjadikan ibadah haji sebagai ladang bancakan.


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa praktik lancung ini tidak berhenti pada level pejabat tinggi semata, melainkan mengalir berjenjang ke berbagai tingkatan pejabat Kemenag. 


Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan bahwa masing-masing pejabat mendapatkan bagian tersendiri dari hasil manipulasi kuota. 


Aliran dana tidak hanya berhenti di tangan pejabat, tetapi juga melalui orang kepercayaan, kerabat, hingga staf ahli. 


Dengan demikian, korupsi ini bukan tindakan individual, melainkan praktik sistemik yang merusak sendi-sendi birokrasi.


KPK sejauh ini telah menyita sejumlah aset hasil tindak pidana, termasuk dua rumah milik ASN di Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah senilai Rp6,5 miliar. 


Penelusuran lebih jauh juga menemukan aset lain berupa kendaraan, tanah, hingga uang tunai puluhan miliar rupiah. 


Semua ini menandakan bahwa penyimpangan bukan sekadar isu administrasi, melainkan upaya terstruktur untuk menggerogoti hak jamaah.


Salah satu sorotan penting adalah penyalahgunaan kuota tambahan sebanyak 20 ribu jamaah. Berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018, pembagian kuota harus mengikuti proporsi 92 persen untuk jamaah reguler dan 8 persen untuk haji khusus


Namun, Kemenag justru membagi rata tambahan tersebut, 10 ribu untuk reguler dan 10 ribu untuk khusus. 


Akibatnya, kuota haji khusus bertambah di luar ketentuan, sementara jamaah reguler yang jumlahnya lebih besar harus rela dipangkas haknya. P


erubahan komposisi ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merugikan ribuan calon jamaah yang sudah menanti bertahun-tahun.


Dalam dimensi hukum, KPK telah menaikkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan penerapan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, juncto Pasal 55 KUHP. 


Penetapan ini menegaskan adanya dugaan niat jahat (mens rea) dari para penyelenggara haji, sebagaimana disampaikan juru bicara KPK, Budi Prasetyo. 


Skandal ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya persekongkolan sadar yang memanfaatkan posisi dan kewenangan.


Implikasi politik kasus ini juga tidak dapat diabaikan. Eks Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, bersama dua orang lainnya, telah dilarang bepergian ke luar negeri oleh KPK demi kelancaran proses hukum. 


Fakta ini menunjukkan bahwa skandal haji bukan sekadar kesalahan teknis birokrasi, melainkan juga menyentuh lingkaran kekuasaan tertinggi di Kemenag.


Ironisnya, ibadah haji yang mestinya menjadi momentum penyucian diri justru dikotori praktik suap, mark-up, dan bancakan kuota. 


Bagi jamaah, ibadah suci ini adalah puncak spiritualitas, hasil tabungan puluhan tahun, bahkan kadang pengorbanan hidup. 


Tetapi di tangan segelintir pejabat, haji diperlakukan layaknya komoditas yang bisa ditukar dengan rupiah.


Kasus ini seharusnya menjadi titik balik dalam penegakan hukum di sektor pelayanan publik keagamaan. Kemenag mesti dibersihkan dari praktik rente yang mengorbankan rakyat kecil. 


Lebih dari itu, negara wajib mengembalikan ibadah haji ke fitrah aslinya: jalan suci menuju Allah, bukan jalan pintas menuju kekayaan haram bagi para pejabatnya.


Sumber: FusilatNews

Komentar