Tidak jelas track record politiknya, tidak dikenal kiprah intelektualnya, apalagi perjuangan akar rumputnya.
Tapi tahu-tahu, dia jadi Ketua Umum partai yang katanya “anak muda banget.”
Kegagalannya bukan soal jabatan itu sendiri, melainkan tentang bagaimana proses politik kehilangan makna.
Ketika Kaesang masuk ke dunia politik bukan karena kapabilitas, tapi karena nama belakang, maka pesan yang dikirim ke seluruh anak muda Indonesia adalah: “Jangan repot-repot belajar, cukup jadi anak presiden.”
4. Bobby Nasution: Dari Menantu ke Gubernur—Proyek Dinasti Tanpa Keringat
Bobby, sang menantu, akhirnya berhasil naik tingkat: dari Wali Kota Medan langsung duduk manis di kursi Gubernur Sumatera Utara. Ini bukan dongeng, ini kenyataan yang terjadi di negeri demokrasi rasa feodal.
Belum sempat publik menilai secara jernih prestasinya di Medan—karena belum ada yang benar-benar menonjol selain baliho dan jargon—Bobby sudah lebih dulu meloncat ke level provinsi.
Ia bukan naik karena desakan rakyat atau prestasi yang mendesak, melainkan karena nama belakang dalam silsilah keluarga kekuasaan.
Ia adalah contoh bahwa di era Jokowi, kekuasaan bukan hasil kerja keras atau rekam jejak panjang, tapi cukup bermodal restu dan relasi.
Politik seperti ini tidak memberi ruang pada yang kompeten, tapi pada yang kebetulan serumah dengan presiden.
Jika dulu kita resah dengan para jenderal yang mewariskan dinasti, sekarang kita menghadapi versi baru: presiden sipil yang tak kalah lihai mewariskan kekuasaan. Bobby hanyalah pion dari papan catur besar bernama “Proyek Abadi Jokowi”.
Penutup: Dari Jokowi ke Jokowers, Kita Semua Korban Romantisme yang Patah
Kalau dulu rakyat memilih Jokowi karena dia beda dari elite lama, kini rakyat hanya bisa mengelus dada, sebab Jokowi ternyata hanya membawa elite lama dengan cara yang lebih halus—lebih senyum, lebih lembut, tapi sama busuknya.
Keluarga ini bukan sekadar keluarga. Mereka adalah simbol dari satu era yang mulai ditingkahi bau pembusukan kekuasaan.
Dari politik dinasti, penyusunan UU pesanan, pelemahan institusi, sampai pembentukan ilusi “kepemimpinan muda” yang sebenarnya hanya proyek pelestarian kuasa.
Seseorang pernah berkata: jika satu orang salah, mungkin itu nasib. Tapi jika semua keluarga ikut salah arah, itu namanya sistem yang sengaja dibangun untuk gagal.
Dan kita? Kita hanya bisa menulis, sambil menanti siapa lagi yang akan diorbitkan—mungkin cucunya, mungkin tukang becak di Solo yang tiba-tiba mengaku paman jauh Jokowi.
Bukan main!
Begitulah gaya kita di republik ini. Mau melawan? Ya minimal, jangan lagi pilih mereka.
Jangan lagi kita dikibuli atas nama ‘kerja, kerja, kerja’, padahal sejatinya: ‘kuasa, kuasa, kuasa’. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Bukan Dibangun Pakai Uang Rakyat! Ini Fakta Mengejutkan di Balik Masjid Jokowi di Abu Dhabi
Bayar Utang Whoosh dengan Uang Koruptor? Ini Rencana Kontroversial Prabowo
Maxim Indonesia: Rahasia Pesan & Daftar Driver untuk Hasilkan Cuan!
Prabowo Gaspol! Whoosh Tak Cuma ke Surabaya, Tapi Diteruskan Sampai Ujung Jawa Timur